Minggu, 14 November 2010

KAMI SANGGUP MENAHAN LAPAR Oleh Ust Rapung Samuddin Lc MA

“Suamiku itu payah…”, ketus seorang ibu yang juga masih keluarga istriku. Sebulan lalu ia datang ke Makassar untuk satu urusan sekaligus mengunjungi anaknya yang kuliah di sini. Aku kenal betul suaminya. Mantan Lurah di suatu daerah, yang setahun lalu lengser sebelum masa jabatannya habis lantaran “terlalu” jujur. Beliau juga seorang jama’ah masjid aktif dan paling antusias menyimak kuliah-kuliah agama jika kebetulan aku berada di sana. “Lihat saja, untuk sebuah urusan seperti ini, kami harus ngutang sana sini…! Aku hanya diam menyimak. “Padahal, dulu, kalau bapak mau, sebenarnya banyak yang bisa dilakukan untuk mendapat penghasilan tambahan. Saya tidak menyuruh ia korupsi… Tapi kan banyak proyek yang mungkin bisa ia tangani, atau minimal fee dari proyek-proyek itu. Bapak itu terlalu jujur…”.



Demikian keluhan ibu itu. Kendati dengan nada bercanda, namun sorot matanya tak bisa berbohong. Ada ketidakpuasan dengan sikap suaminya. Setelah puas menumpahkan seluruh keluhannya, aku lalu angkat bicara. “Beruntunglah ibu punya seorang suami yang jujur. Walau dari sisi materi tidak nampak, namun di sisi lain ibu sangat beruntung”. “Maksudnya ?”, Tanya ibu itu. “Lihatlah, keadaan ibu sekeluarga. Betapa Allah menganugrahkan kesehatan dan ketenangan dalam hidup. Tidak ada rasa takut dan khawatir, Alhamdulillah…”. Ibu itu hanya diam. “Kita jangan terpedaya oleh zahir para koruptor itu! Nampak mereka bahagia dengan gelimang harta. Sementara jauh di dasar jiwa mereka tercampak rasa cemas dan takut. Allah mencabut kedamaian itu dari hati mereka”. Ia masih diam. Sekali-kali ia mengangguk.



“… bahkan tak jarang pula Allah merampas kembali harta haram itu. Didatangkan padanya beragam penyakit baik untuk dirinya, anak-anak atau keluarganya. Terjerumusnya anak-anak mereka dalam kubangan narkoba, pergaulan bebas dan lain sebagainya… Dan satu hal lagi disamping itu semua. Rasa malu yang akan diwariskan pada anak-anak mereka. Bayangkan, bagaimana hancurnya perasaan seorang anak jika orang tuanya dikenang sebagai seorang pencuri…Sungguh, tidak ada kebanggaan yang lebih besar bagi anak-anak itu, melebihi warisan nama yang baik dari kedua orang tuanya…!!”. Ibu itu tertegun diam. Nampak butiran bening menitik di sudut-sudut matanya. Aku mengakhiri pembicaraan sore itu dengan kembali mengingatkan, “Sekali lagi, bersyukurlah karena Allah memilihkan bagi ibu seorang suami yang jujur…!!”.



Duhai, betapa sifat jujur di zaman sekarang ini begitu langka. Ia ibarat barang antik yang tidak sembarang orang boleh menyentuhnya. Saking sulitnya mencari orang jujur itu, hingga lahir sebuah selentingan, bahwa jujur zaman sekarang sama dengan tidak makan…! Apalagi, sistem yang dibuat sangat mendukung orang untuk berlaku tidak jujur. Makanya bukan rahasia lagi, banyak orang-orang yang masih hanif, lurus dan jujur, justru terpinggirkan. Tersudut di bawah kungkungan sifat rakus dan perlombaan menjaring harta haram. Haah, pantas saja ungkapan ini lahir. Ternyata, jujur memang sama dengan tidak makan…



Keluhan ibu di atas, hanya segelintir contoh betapa sulitnya berpegang pada kejujuran itu. Dan sayangnya, tidak jarang justru sumber petaka ketidakjujuran itu bermula dari keluarga. Tuntutan menggunung. Gaya hidup menggoda. Apalagi jika kebetulan sang suami berada pada posisi yang memungkinkan untuk melakukan hal itu. Sungguh merupakan ujian keimanan yang besar.



Padahal, di balik sifat jujur itu, terpendam untaian kebaikan dan keberkahan, melebihi nilai-nilai materi yang diperoleh melalui jalan yang salah. Bukan hanya di akhirat. Di dunia pun berkah itu telah Allah Ta’ala nampakkan. Sejarah banyak mencatat tentang perjalan orang-orang jujur. Nah, bicara masalah kejujuran ini, ada sebuah kisah menarik. Kisah seorang anak gadis di zaman khalifah Umar bin Khattab r.a, sebagaimana diriwayatkan oleh al-Hafidz Ibnu ‘Asakir dalam “Tarikh ad-Dimasqi”, Juz 70 hal 252.



“Seperti biasa, malam itu Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra berkeliling kota mengontrol keadaan rakyatnya. Sebuah pekerjaan rutin dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Tiba-tiba beliau menangkap percakapan menarik dari rumah seorang wanita penjual susu: “Ayo, bangunlah! Campurkan susu itu dengan air!”, perintah sang ibu. “Apakah ibu belum mendengar larangan dari Amirul Mukminin?”, sergah sang anak gadis. “Apa larangannya?” “Beliau melarang menjual susu yang dicampur air” “Ah, ayo bangunlah. Cepat campur susu itu dengan air. Jangan takut pada Umar, sungguh ia tidak melihatnya!”. “Memang Umar tidak melihat, namun Tuhannya Umar melihat kita…”. Umar tertegun. dialog ibu dan anak ini begitu menyentuhnya. Sang Khalifah tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.



Pagi harinya beliau memerintahkan salah seorang putranya, Ashim untuk meminang gadis miskin yang jujur itu. “Pergilah kau ke sebuah tempat, terletak di daerah itu. Di sana ada seorang gadis penjual susu. Kalau ia masih sendiri, pinanglah dia. Mudah-mudahan Allah mengaruniakanmu seorang anak yang shalih yang penuh berkah”. Firasat Umar ternyata benar. Ashim menikahi gadis mulia itu, dan dikaruniai putri bernama Ummu Ashim. Wanita ini lalu dinikahi oleh Khalifah Abdul Aziz bin Marwan, dan darinya lahir seorang anak laki-laki yang kemudian menjadi khalifah kesohor sepanjang masa, Umar bin Abdul Aziz….



Membaca kisah ini aku termenung. Sebenarnya, jika seorang mau sedikit bersabar, maka sesuatu yang luput darinya lantaran sikap jujur pasti akan diberi ganti yang jauh lebih mulia. Dan ini sebagaimana janji dari Nabi SAW, “Siapa yang meninggalkan sesuatu (larangan) karena (takut) kepada Allah, niscaya Allah Ta’ala akan menggantikan dengan sesuatu yang jauh lebih baik darinya”. (HR. Ahmad). Yah, ternyata segayung air yang ditinggalkan oleh anak gadis itu karena takut pada Allah, digantikan dengan seorang pemuda shalih, putra seorang khalifah besar. Segayung air yang ditinggalkan, Allah Ta’ala gantikan dengan keturunan yang sanggup mencatat sejarah besar dengan tinta emas. Bahkan, lantaran segayung air yang ia tinggalkan, Allah Ta'ala abadikan namanya dalam lembaran sejarah umat manusia… Demikianlah, segepok uang haram yang ditinggalkan lantaran takut pada Allah, akan digantikan dengan kesehatan, rasa aman, kebahagian, anak-anak yang shalih, serta nama yang akan terus dikenang.



Hmm, rasanya, wanita-wanita kita zaman sekarang perlu kembali belajar pada pendahulu mereka, para wanita salaf. Merekalah ruh hakiki kekuatan para pria. Bukan hanya rahim mereka yang berhasil melahirkan bintang gemintang bagi dunia ini. Bahkan petuah-petuah mereka begitu menyihir, hingga membuat suami mereka takut menerjang apa yang diharamkan oleh Allah. Dalam Ihya' Ulumuddin, Juz II/343, diceritakan, bahwa para wanita salaf itu selalu berpesan setiap suami mereka hendak keluar mencari rezki, “Wahai suamiku, sungguh kami dapat bersabar menahan lapar dan haus. Namun kami tidak sanggup menanggung panasnya api neraka, takutlah pada Allah atas apa yang engkau akan suapkan pada kami …!”.

sumber:http://www.facebook.com/note.php?note_id=464478708500

Tidak ada komentar:

Posting Komentar