Pada edisi lalu (tulisan 1 dan 2) telah kami sebutkan enam bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:
7. Sikap Orang TuaTerlalu Keras Dan Kaku.
Sikap orang tua seperti ini dapat dilihat dari sikap dan perilaku kasar mereka kepada anak-anaknya. Entah dengan memukul (berlaku kasar) kepada anak-anak ketika berbuat kesalahan meskipun sekali saja- atau mencela dan mencaci mereka pada setiap kekeurangan baik yang kecil maupun yang besar, atau sikap-sikap keras lainnya.
8. Terlalu Kikir dan Pelit terhadap Anak
Sebagian orang tua ada yang terlalu kikir dan pelit terhadap anak-anaknya melebihi batas kewajaran, sehingga mebuat anak-anak mempunyai perasaan kekurangan dan merasa sangat membutuhkan. Hal ini dapat mendorong si anak untuk mencari cara mendapatkan uang dengan berbagai macam cara. Bisa jadi dengan cara mencuri, mengemis atau berdekatan (menjilat) kepada teman-teman jahat mereka, serta pelaku kejahatan (kriminal) lainnya.
9. Menghalangi Hak Anak Mendapatkan Kasih Sayang Orang Tua
Anak-anak yang kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang tua dapat memicu dan mendorong mereka untuk mencari pemenuhan hak dan kebutuhan mereka di luar rumah. Mungkin mereka akan menemukan orang yang dapat memenuhi perasaan tersebut.
10. Perhatian Orang Tua kepada Anak Sebatas Kebutuhan Lahiriah Semata
Banyak orang yang beranggapan bahwa perhatian yang baik bagi orang tua terhadap anaknya cukup dengan pemenuhan kebutuhan materi, seperti makanan yang baik, minuman yang menyegarkan, pakaian yang mewah, pendidikan tinggi, dan penampilan di hadapan orang-orang dengan prima. Akan tetapi, mereka tidak memperhatikan tentang bagaimana mendidik
anak sehingga tumbuh menjadi pribadi yang jujur danberakhlak mulia.
11. Berlebihan dalam Berbaik Sangka Kepada Anak
Sebagian orang tua berlebihan dalam berbaik sangka kepada anak-anaknya, sehingga mereka tidak menanyakan keadaan mereka, tidak mau mengetahui tentang mereka, dan tidak tahu menahu tentang teman-teman mereka. Hal ini karena kepercayaan yang berlebihan dari orang tua terhadap anak-anaknya.
Tipe orang tua seperti ini tidak menerima kritik yang ditujukan kepada anaknya. Jika terjadi suatu permasalahan terhadap anaknya atau penyimpangan yang dilakukan oleh anaknya, kemudian sang ayah diperingatkan tentang permasalahan tersebut, maka dia membelanya mati-matian, dan mencari-cari alasan yang membenarkan perilaku anaknya, dan tidak jarang balik menuduh orang yang memberi peringatan kepadanya sebagai seorang yang ceroboh, tergesa-gesa, atau seorang yang turut campur dalam urusan yang bukan menjadi wewenangnya.
12. Berlebihan dalam Berburuk Sangka kepada Anak
Kondisi ini merupakan kebalikan dari sikap di atas. Ada saja orang tua yang berburuk sangka terhadap anaknya, dan berlebihan sehingga keluar dari batas kewajaran. Tipe orang tua seperti ini selalu menuduh niat baik dari anak-anaknya, dan tidak menaruh kepercayaan kepada mereka sama sekali. Dia memberikan kesan kepada anak-anaknya sebagai lawan (penghalang), baik pada masalah yang kecil maupun yang besar, tanpa bisa mentolerir sedikitpun kesalahan dan kelalaian yang pernah mereka perbuat.(bersambung insya Allah).
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.
Jumat, 29 April 2011
Kamis, 28 April 2011
Bahaya Takfir -Vonis Kafir-
Menengok sejarahnya, ternyata fitnah bermudah-mudahan mengkafirkan seorang muslim ini telah lama ada, seiring dengan munculnya Khawarij, kelompok sesat pertama dalam Islam. Yang mana mereka telah berani mengkafirkan Khalifah Utsman bin Affan dan orang-orang yang bersamanya, mengkafirkan orang-orang yang memerangi Ali bin Abi Thalib dalam perang Jamal dan Shiffin, kemudian mengkafirkan semua yang terlibat dalam peristiwa Tahkim (termasuk di dalamnya Ali bin Abi Thalib), dan akhirnya mengkafirkan siapa saja yang tidak sepaham dengan mereka.
Bahaya Takfir
Takfir artinya mencap atau memvonis seseorang bahwa ia telah kafir atau keluar dari Islam.
Takfir adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Sebab Vonis kafir terhadap seseorang memiliki konsekuensi dan implikasi yang tidak sederhana. Oleh sebab itu para Ulama sejak dulu hingga hari ini selalu berhati-hati dalam persoalan ini. Tidak boleh seorang Muslim tergesa-gesa dalam masalah ini hingga nampak fakta dan dalil yang jelas dan qath’I (pasti).
Dalam buku-buku Madzhab Hanafiyah disebutkan : Jika dalam suatu permasalahan ada banyak sisi yang menunjukkan kekafiran seseorang, dan ada satu sisi yang menunjukan ketidak kafirannya, maka hendaknya seorang Mufti cenderung sisi yang menunjukkan ketidak kafirannya (tidak mengkafirkan). Hal ini sebagai bentuk husnudzon (berprasangka baik) kepada seorang Muslim.
Dalil-Dalil Tentang Bahaya Takfir
1. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” (HR. Muslim dan Ahmad )
2. Hadits Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.” (HR. al-Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad dan Muslim)
3. Hadits Abu Dzar yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Bukhari dalam Shahihnya, Beliau juga bersabda: “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” (HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dan Ahmad)
Dan masih banyak hadits yang menjelaskan bahaya serampangan dalam mengkafirkan.
Klasifikasi Manusia dalam Persoalan Takfir
Ketika kita memperhatikam sejarah dan kenyataan di lapangan ,kita dapati bahwa sikap manusia dalam permasalahan takfir terbagi tiga:
Pertama: Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menjatuhkan vonis kafir tanpa memperhatikan rambu–rambu syar’I dan kaidah-kaidah ilmiyah dalam persoalan takfir. Mereka juga memudahkan persoalan dengan mengkafirkan orang yang tidak berhak untuk dikafirkan. Ini adalah pemikiran khawarij dan mu’tazilah .
Kedua: Ghuluw (Berlebih-lebihan) dalam mengingkari masalah takfir. Dengan klaim, takfir adalah hak prerogatif Allah. Ia adalah sulthan Ilahiyah (Kekuasaan Ketuahanan).Tidak ada seorang pun manusia berhak untuk menghukumi. Sebab, kekafiran tidak terjadi melainkan dengan pengingkaran dalam hati. Sementara hati manusia tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah semata. Ini adalah pemikiran sekte Murjia’ah.
Ketiga: I’tidal (moderat) dalam persoalan takfir. Komitmen dengan rambu-rambu syariat dan kaidah-kaidah ilmiyah dalam menjatyhkan vonis kafir kepada seseorang. Hanya menjatuhkan vonis ketika syarat dan sebab yang menjadikan seorang kafir telah terpenuhi. Inilah sikap dan metode Ahlussunnha wal jama’ah.
Tidak diragukan lagi ,sikap yang pertama bertentangan dengan nash-nash (teks syariat dan dalil-dalil yang menentukan rambu-rambu dalam takfir. Hal ini termasuk sikap ekstrim yang dilarang oleh dalam syariat.
Adapun kelompok yang kedua telah mengingkari prinsip syariat yang jelas. Mereka mengingkari takfir terhadap orang yang berhak dikafirkan ketika sebab dan syarat yang menjadikan seseorang kafir telah terpenuhi pada orang tersebut.
Sikap kelompok kedua ini berpijak pada pandangan, kekufuran adalah perbuatan hati semata. Maksudnya menurut kelompok kedua ini, seseorang menjadi kafir bila mengingkari dengan hatinya. Seseorang tidak tercap kafir hanya karena perkataan dan perbuatannya yang tidak disertai keyakinan dalam hatinya.
Sikap seperti ini keliru, sebab kekufuran dapat terjadi karena perkataan, perbuatan dan atau keyakinan (I’tiqad). Ada keyakinan kufur seperti mengingkari wujud Allah, meyakini adanya syarikat bagi Allah, mengingkari Rasul dan Kitab-kitab samawiy. Adapula perkataan kufur seperti menghina Allah, mencaci Rasullullah, atau melecehkan Islam. Ada juga perbuatan kufur seperti sujud kepada salib atau menghinakan mushaf Al Qur’an dengan merobek, membakar, atau mencampakkannnya di tempat-tempat kotor.
Intinya, vonis kafir berkaitan pula dengan perkataan dan perbuatan kekufuran yang nampak, sebagaimana ucapan syahadat merupakan bukti keislaman seseorang. Demikian pula dengan amal pemikiran seperti mencaci rasul, menghina islam, memperolok-olok al-Qur’an merupakan tanda kekufuran.
Kaidah dan manhaj Ahlussunnah wal jama’ah dalam Masalah takfir
Masalah takfir (vonis kafir) memang bagian dari ajaran Islam. Namun, ada rambu-–rambu yang mesti dipatuhi dalam penerapannya. Ada kaidah-kaidah ilmiyah yang harus diterapkan sebelum menjatuhkan vonis kepada seseorang yang telah mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan kufur. Harus ada kehati-hatian di dalamnya.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid al Atsary hafidzahullah berkata: “Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena suatu dosa, yang tidak ada suatu dalilpun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini –yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir-, maka perkaranya kembali kepada Allah Ta’ala, jika Allah berkehendak pasti dia disiksa, dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan manzilah baina manzilatain (dengan maksud ‘dia bukan muslim dan juga bukan kafir’). Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal tersebut dalam banyak haditsnya. (al wajiz Fiy ‘Aqiydah Assalaf Ash Shalih Ahl As Sunnah wal jama’ah, hal. 122)
Beliau melanjutkan, Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum secara mutlak terhadap ahli bid’ah yang disebabkan kemaksiatan atau kekafiran dengan hukum secara khusus terhadap seorang muslim yang diyakini ke-Islaman-nya, yang timbul darinya suatu perbuatan bid’ah, bahwa dia adalah orang yang bermaksiat, fasik atau kafir. Maka, Ahlussunnah tidak menghukumi orang tersebut sampai dijelaskan kebenaran kepadanya, yaitu dengan cara iqomatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) dan hilangnya syubhat (keraguan). Hal ini berlaku dalam permasalahan yang samar (tersembunyi) bukan permasalahan yang sifatnya zhahir (jelas dan nyata). Kemudian Ahlussunnah juga tidak mengkafirkan seorang muslim tertentu kecuali bila benar-benar telah memenuhi persyaratan dan bebas dari segala halangan.
“Siapa yang tetap ke-Islaman-nya secara yakin maka tidak akan hilang dengan suatu yang meragukan.” Atas dasar kaidah ini, para salafush shalih berpijak. Maka merekalah yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu, ketika ‘Ali bin Abi Thalib ditanya tentang penduduk Nahrawan, “Apakah mereka telah kafir?” Beliau menjawab, “Mereka menjauh dari kekafiran.” Lalu ditanya lagi, “Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafik?” Beliau menjawab, “Kalau orang-orang munafik tidak menyebut (nama) Allah melainkan sedikit, sedang mereka senantiasa menyebut (nama) Allah pagi dan sore. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita yang berbuat aniaya kepada kita.” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, juz VIII hal 173).
Penting bagi kita untuk membedakan antara macam dan pribadi tertentu dalam hal pengkafiran. Mengingat tidak semua perbuatan kufur menjadikan pelakunya tertentu disebut orang kafir. Maka hendaknya seseorang dapat membedakan antara menghukumi perkataan bahwa (perbuatan) itu kafir, dengan menghukumi seorang tertentu bahwa dia kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Orang yang menakwilkan (menyelewengkan makna) lagi bodoh dan orang yang berhalangan hukumnya tidak seperti hukum yang berlaku pada orang yang menentang dan durhaka. Bahkan Allah telah menjadikan segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan-Nya.” (Majmu’ah Rasail wa Masail, V/382).
Maraji’:
1. Al wajiz Fiy ‘Aqiydah Assalaf Ash Shalih Ahl As Sunnah wal jama’ah, karya Syaikh, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary.
2. www.saaid.net.
Sumber: www.tanaasuh.com
Bahaya Takfir
Takfir artinya mencap atau memvonis seseorang bahwa ia telah kafir atau keluar dari Islam.
Takfir adalah sesuatu yang sangat berbahaya. Sebab Vonis kafir terhadap seseorang memiliki konsekuensi dan implikasi yang tidak sederhana. Oleh sebab itu para Ulama sejak dulu hingga hari ini selalu berhati-hati dalam persoalan ini. Tidak boleh seorang Muslim tergesa-gesa dalam masalah ini hingga nampak fakta dan dalil yang jelas dan qath’I (pasti).
Dalam buku-buku Madzhab Hanafiyah disebutkan : Jika dalam suatu permasalahan ada banyak sisi yang menunjukkan kekafiran seseorang, dan ada satu sisi yang menunjukan ketidak kafirannya, maka hendaknya seorang Mufti cenderung sisi yang menunjukkan ketidak kafirannya (tidak mengkafirkan). Hal ini sebagai bentuk husnudzon (berprasangka baik) kepada seorang Muslim.
Dalil-Dalil Tentang Bahaya Takfir
1. Hadits ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallaahu ‘anhuma dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya: ‘Wahai kafir!’ maka pasti ungkapan tersebut kembali kepada salah satu di antara dua orang itu, jika benar-benar seperti yang dia ucapkan, dan kalau tidak maka ungkapan tadi akan kembali kepada orang yang mengatakan sendiri.” (HR. Muslim dan Ahmad )
2. Hadits Abu Dzar radhiyallaahu ‘anhu, dimana Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Barangsiapa memanggil seseorang dengan kekafiran atau dengan ucapan: ‘Wahai musuh Allah!’, sedangkan faktanya tidak demikian melainkan akan kembali kepadanya.” (HR. al-Bukhari dalam ‘Adabul Mufrad dan Muslim)
3. Hadits Abu Dzar yang diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Bukhari dalam Shahihnya, Beliau juga bersabda: “Tiada seseorang melempar (ucapan kepada) orang lain dengan kefasikan maupun kekufuran, melainkan ucapan tersebut pasti kembali kepadanya, jika temannya (yang dicela) itu tidak ada sifat yang demikian.” (HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya dan Ahmad)
Dan masih banyak hadits yang menjelaskan bahaya serampangan dalam mengkafirkan.
Klasifikasi Manusia dalam Persoalan Takfir
Ketika kita memperhatikam sejarah dan kenyataan di lapangan ,kita dapati bahwa sikap manusia dalam permasalahan takfir terbagi tiga:
Pertama: Ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menjatuhkan vonis kafir tanpa memperhatikan rambu–rambu syar’I dan kaidah-kaidah ilmiyah dalam persoalan takfir. Mereka juga memudahkan persoalan dengan mengkafirkan orang yang tidak berhak untuk dikafirkan. Ini adalah pemikiran khawarij dan mu’tazilah .
Kedua: Ghuluw (Berlebih-lebihan) dalam mengingkari masalah takfir. Dengan klaim, takfir adalah hak prerogatif Allah. Ia adalah sulthan Ilahiyah (Kekuasaan Ketuahanan).Tidak ada seorang pun manusia berhak untuk menghukumi. Sebab, kekafiran tidak terjadi melainkan dengan pengingkaran dalam hati. Sementara hati manusia tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah semata. Ini adalah pemikiran sekte Murjia’ah.
Ketiga: I’tidal (moderat) dalam persoalan takfir. Komitmen dengan rambu-rambu syariat dan kaidah-kaidah ilmiyah dalam menjatyhkan vonis kafir kepada seseorang. Hanya menjatuhkan vonis ketika syarat dan sebab yang menjadikan seorang kafir telah terpenuhi. Inilah sikap dan metode Ahlussunnha wal jama’ah.
Tidak diragukan lagi ,sikap yang pertama bertentangan dengan nash-nash (teks syariat dan dalil-dalil yang menentukan rambu-rambu dalam takfir. Hal ini termasuk sikap ekstrim yang dilarang oleh dalam syariat.
Adapun kelompok yang kedua telah mengingkari prinsip syariat yang jelas. Mereka mengingkari takfir terhadap orang yang berhak dikafirkan ketika sebab dan syarat yang menjadikan seseorang kafir telah terpenuhi pada orang tersebut.
Sikap kelompok kedua ini berpijak pada pandangan, kekufuran adalah perbuatan hati semata. Maksudnya menurut kelompok kedua ini, seseorang menjadi kafir bila mengingkari dengan hatinya. Seseorang tidak tercap kafir hanya karena perkataan dan perbuatannya yang tidak disertai keyakinan dalam hatinya.
Sikap seperti ini keliru, sebab kekufuran dapat terjadi karena perkataan, perbuatan dan atau keyakinan (I’tiqad). Ada keyakinan kufur seperti mengingkari wujud Allah, meyakini adanya syarikat bagi Allah, mengingkari Rasul dan Kitab-kitab samawiy. Adapula perkataan kufur seperti menghina Allah, mencaci Rasullullah, atau melecehkan Islam. Ada juga perbuatan kufur seperti sujud kepada salib atau menghinakan mushaf Al Qur’an dengan merobek, membakar, atau mencampakkannnya di tempat-tempat kotor.
Intinya, vonis kafir berkaitan pula dengan perkataan dan perbuatan kekufuran yang nampak, sebagaimana ucapan syahadat merupakan bukti keislaman seseorang. Demikian pula dengan amal pemikiran seperti mencaci rasul, menghina islam, memperolok-olok al-Qur’an merupakan tanda kekufuran.
Kaidah dan manhaj Ahlussunnah wal jama’ah dalam Masalah takfir
Masalah takfir (vonis kafir) memang bagian dari ajaran Islam. Namun, ada rambu-–rambu yang mesti dipatuhi dalam penerapannya. Ada kaidah-kaidah ilmiyah yang harus diterapkan sebelum menjatuhkan vonis kepada seseorang yang telah mengucapkan kata-kata atau melakukan perbuatan kufur. Harus ada kehati-hatian di dalamnya.
Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul Hamid al Atsary hafidzahullah berkata: “Ahlussunnah wal Jama’ah tidak mengkafirkan seorang muslim karena suatu dosa, yang tidak ada suatu dalilpun dari al-Qur-an dan as-Sunnah bahwa hal tersebut termasuk perbuatan kufur. Jika seorang hamba meninggal dunia dalam keadaan seperti ini –yakni selama tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa yang berbuat suatu dosa, dia kafir-, maka perkaranya kembali kepada Allah Ta’ala, jika Allah berkehendak pasti dia disiksa, dan jika Dia berkehendak lain pasti diampuni. Lain halnya dengan firqah-firqah sesat dimana mereka menghukumi kafir bagi orang yang berbuat dosa besar atau dengan sebutan manzilah baina manzilatain (dengan maksud ‘dia bukan muslim dan juga bukan kafir’). Sebab, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan hal tersebut dalam banyak haditsnya. (al wajiz Fiy ‘Aqiydah Assalaf Ash Shalih Ahl As Sunnah wal jama’ah, hal. 122)
Beliau melanjutkan, Ahlussunnah wal Jama’ah membedakan antara hukum secara mutlak terhadap ahli bid’ah yang disebabkan kemaksiatan atau kekafiran dengan hukum secara khusus terhadap seorang muslim yang diyakini ke-Islaman-nya, yang timbul darinya suatu perbuatan bid’ah, bahwa dia adalah orang yang bermaksiat, fasik atau kafir. Maka, Ahlussunnah tidak menghukumi orang tersebut sampai dijelaskan kebenaran kepadanya, yaitu dengan cara iqomatul hujjah (menegakkan hujjah atau argumentasi) dan hilangnya syubhat (keraguan). Hal ini berlaku dalam permasalahan yang samar (tersembunyi) bukan permasalahan yang sifatnya zhahir (jelas dan nyata). Kemudian Ahlussunnah juga tidak mengkafirkan seorang muslim tertentu kecuali bila benar-benar telah memenuhi persyaratan dan bebas dari segala halangan.
“Siapa yang tetap ke-Islaman-nya secara yakin maka tidak akan hilang dengan suatu yang meragukan.” Atas dasar kaidah ini, para salafush shalih berpijak. Maka merekalah yang paling berhati-hati dalam mengkafirkan orang lain. Oleh karena itu, ketika ‘Ali bin Abi Thalib ditanya tentang penduduk Nahrawan, “Apakah mereka telah kafir?” Beliau menjawab, “Mereka menjauh dari kekafiran.” Lalu ditanya lagi, “Apakah mereka itu termasuk orang-orang munafik?” Beliau menjawab, “Kalau orang-orang munafik tidak menyebut (nama) Allah melainkan sedikit, sedang mereka senantiasa menyebut (nama) Allah pagi dan sore. Sesungguhnya mereka adalah saudara kita yang berbuat aniaya kepada kita.” (Dikeluarkan oleh Imam al-Baihaqi dalam kitabnya, as-Sunan al-Kubra, juz VIII hal 173).
Penting bagi kita untuk membedakan antara macam dan pribadi tertentu dalam hal pengkafiran. Mengingat tidak semua perbuatan kufur menjadikan pelakunya tertentu disebut orang kafir. Maka hendaknya seseorang dapat membedakan antara menghukumi perkataan bahwa (perbuatan) itu kafir, dengan menghukumi seorang tertentu bahwa dia kafir.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Orang yang menakwilkan (menyelewengkan makna) lagi bodoh dan orang yang berhalangan hukumnya tidak seperti hukum yang berlaku pada orang yang menentang dan durhaka. Bahkan Allah telah menjadikan segala sesuatu itu sesuai dengan ketentuan-Nya.” (Majmu’ah Rasail wa Masail, V/382).
Maraji’:
1. Al wajiz Fiy ‘Aqiydah Assalaf Ash Shalih Ahl As Sunnah wal jama’ah, karya Syaikh, Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary.
2. www.saaid.net.
Sumber: www.tanaasuh.com
Rukun Iman (Bagian 1)
Iman terdiri atas enam substansi:
1.Iman kepada Allah
2.Iman kepada para malaikat-Nya
3.Iman kepada kitab-kitab-Nya
4.Iman kepada para rosul-Nya
5.Iman kepada hari akhir
6.Iman kepada takdir yang baik dan buruk
Berikut ini beberapa referensi (dalil) yang menerangkan hal ini:
1. Firman Allah Ta’ala, “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan Rabbnya kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang rasul dengan rasul lainnya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan hanya kepada-Mu tempat kembali.” (Al-Baqoroh:285)
2. Firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Dia turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapapun yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh dia telah sangat jauh tersesat”. (An-Nisaa: 136)
3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “(Rukun) Iman itu meliputi iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta takdir baik dan buruk” (Muttafaq ‘alaih). Adapun menurut redaksi Muslim, hadits tersebut berbunyi: “(Rukun iman meliputi) Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-Nya, perjumpaan dengan-Nya, para rasul-Nya, serta iman akan adanya kebangkitan (setelah mati) dan iman kepada setiap takdir (baik dan buruk)”
Iman kepada Allah
A. Tauhid merupakan esensi setiap ajaran agama samawi
Pasal 1: Tauhid merupakan fitrah, yang mana Allah ta’ala telah menciptakan dalam diri setiap insan tendensi natural (kecenderungan alamiah) untuk mengikuti fitrah tersebut. Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan hal tersebut:
1. Firman Allah Ta’ala, “dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari tulang rusuk mereka dan mengambil kesaksian atas diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Rabbmu?” mereka menjawab: “Benar, kami bersaksi (bahwa engkau adalah Rabb kami)”. (Kami melakukan hal itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami tidak tahu-menahu tentang hal ini (yakni; keesaan Rabb)”. Atau agar kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya nenek moyang kami sejak dahulu telah berbuat syirik, sedangkan kami ini hanyalah keturunan mereka (yang meniru perbuatan mereka). Apakah Engkau akan menyiksa kami (atas) kesalahan (mereka) orang-orang yang sesat?” (Al-A’raaf: 172-173).
Ayat diatas menerangkan bahwasanya Allah ta’ala pernah mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang rusuknya, kemudian mengambil kesaksian dari mereka bahwasanya Dia-lah Rabb sekalligus penguasa mereka, dan bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak disembah selain-Nya, sesuai dengan fitrah mereka.
2. Firman Allah ta’ala, “(tetaplah diatas) fitrah Allah (yaitu: agama tauhid) yang mana Allah telah menjadikan naluri manusia untuk condong kepada fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum: 30)
Para ulama telah berkonsensus bahwasanya yang dimaksud dengan “fitrah”dalam ayat diatas adalah islam.
3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “setiap insan terlahir dalam kondisi fitrah (mengikuti agama tauhid), baru kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (Mereka terlahir dalam kondisi fitrah) sebagaimana hewan terlahir dengan kondisi anggota tubuh lengkap. Apakah kalian pernah melihat ada hewan yang terlahir tiba-tiba dalam kondisi cacat?” (Muttafaq ‘Alaihi, berdasarkan redaksi Muslim).
Setelah menyampaikan hadits ini, Abu Huroiroh berkata: kalau kau mau, baca saja firman Allah ta’ala: “(tetaplah diatas) fitrah Allah (yaitu: agama tauhid) yang mana Allah telah memberikan manusia naluri untuk mengikuti fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah”. (Ar-Ruum: 30)
Makna dari hadits di atas adalah: seseorang itu menjadi yahudi, nasrani, atau majusi karena terpengaruh oleh kedua orang tuanya. Adapun sebelumnya dia terlahir dalam keadaan fitrah. Sama halnya seperti binatang berkaki pincang. Pada awalnya dia terlahir dalam kondisi sempurna, baru kemudian kepincangan muncul karena suatu sebab.
4. Firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi, “aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus (fitrah), kemudian para syitan menggoda mereka, menyesatkan mereka dan mengharamkan hal-hal yang aku halalkan untuk mereka”. (HR.Muslim)
Pasal 2: Tauhid merupakan esensi setiap ajaran agama samawi. Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan hal tersebut:
1. Firman Allah Ta’ala, “dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya: “tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah oleh kalian Aku” (Al-Anbiya: 25)
Dalam ayat diatas, Allah ta’ala menerangkan bahwa semua rosul menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah ta’ala semata.
2. Firman Allah Ta’ala, “dan ingatlah saudara kaum ‘Aad (yaitu: Hud) saat dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al-Ahqaaf dan telah berlalu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan): “Janganlah kalian menyembah selain Allah, sungguh aku khawatir kalau kalian akan ditimpa azab hari yang besar”. (Al-Ahqaaf: 21).
Allah Ta’ala menerangkan bahwasanya para rosul yang datang sebelum dan sesudah masa nabi Hud – ‘alaihissalam- mengajak umatnya untuk menyembah Allah ta’ala semata.
3. Firman Allah Ta’ala, “dan sungguh Kami telah mengutus rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut” (An-Nahl: 36)
Allah Ta’ala menerangkan bahwa semua rosul diutus kepada umat mereka dengan mengusung ajaran tauhid, menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata, serta antipati terhadap sesembahan lain selain-Nya.
2. Firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mari (kita berpegang teguh) pada sebuah kata sepakat yang mana antara (ajaran) kami dan kalian (tidak ada perselisihan tentangnya), yaitu: kita tidak menyembah (siapapun) kecuali Allah, tidak menyekutukan Dia dengan suatu apapun, dan tidak (pula) seorang pun diantara kita mengangkat orang lain dari golongan kita sebagai Ilah selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakan pada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Ali-‘Imron:64)
Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang ahli kitab, baik dari golongan yahudi, nasrani maupun yang semisal dengan mereka. Adapun “kata sepakat” di sini adalah sebuah konsensus semua ajaran agama samawi yang tidak ada perselisihan diantara mereka mengenai hal ini, yaitu: seruan untuk beribadah kepada Allah ta’ala semata (tauhid) dan larangan untuk mengangkat seorangpun dari kalangan manusia sebagai tuhan.
3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “Para nabi bagaikan Ikhwah Li’allat (saudara seayah dari) ibu yang berbeda. (Walaupun syariat mereka berbeda, namun) agama mereka tetaplah satu” (Muttafaq ‘Alaihi)
Makna dari hadits diatas adalah: Para nabi bagaikan saudara-saudara seayah. Walaupun ibu mereka berbeda, namun asal-usul mereka tetaplah sama. Pun begitu syariat para nabi, meskipun berbeda namun keyakinan fundamental mereka tetaplah sama, yaitu tauhid.
Pasal 3: Kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya, seperti: ibadah kepada selain Allah Ta’ala, keyakinan bahwa Allah Ta’ala memiliki keturunan, keyakinan bahwa Allah ta’ala bersatu dengan raga manusia, dan lain sebagainya, adalah fenomena yang datang belakangan (bukan termasuk bagian dari ajaran tauhid), dan para nabi berlepas diri dari semua itu. Berikut ini beberapa dalil yang meneragkan hal tersebut:
1. Firman Allah Ta’ala, “Tidak mungkin seorang manusia yang telah Allah anugrahi alkitab, hikmah dan kenabian, lalu dia menyeru manusia, “Hendaklah kalian menjadi hamba-hambaku bukan (hamba-hamba) Allah”, akan tetapi (dia akan berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan alkitab serta mempelajarinya”. dan (tidak mungkin pula dia) menyuruh kalian mengangkat para malaikat dan nabi sebagai Rabb. Patutkah dia menyuruh kalian berbuat kekafiran setelah kalian (menganut agama) Islam?” (Ali-Imron: 79-80)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak sepantasnya salah seorang utusan-Nya melakukan propaganda kepada umatnya untuk menyembah dirinya. Kalau para nabi dan rosul saja tidak pantas disembah, apalagi manusia biasa yang statusnya lebih rendah dari mereka.
2. Firman Allah Ta’ala, “dan (ingatlah) saat Allah berfirman, “Hai Isa putera Maryam, apakah engkau menyeru manusia, “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang ilah selain Allah”?” Isa menjawab, “Maha suci Engkau, tidak sepantasnya aku mengatakan sesuatu yang aku tidak berhak (untuk mengatakannya). Andai aku berkata demikian, tentu Engkau mengetahui hal itu. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui setiap perkara ghaib”. Aku tidak pernah menyeru mereka kecuali kepada apa yang Engkau perintahkan aku (untuk mengatakannya) Yaitu: “Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabb kalian!”. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku masih (hidup) bersama mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka, dan Engkau Maha menyaksikan segala sesuatu”. (Al-Maidah:116-117)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala membantah persepsi keliru kaum nasrani yang mengatakan bahwa nabi Isa – ‘alaihissalam – melakukan propaganda kepada umatnya untuk menyembah dirinya dan juga ibundanya.
3. Firman Allah Ta’ala, “mereka (orang-orang kafir) berkata, “Allah mempunyai anak”. Maha suci Allah. Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya, (dan) semua tunduk kepada-Nya. (Allah-lah) Pencipta langit dan bumi. Apabila Dia menghendaki sesuatu, maka (cukup) mengatakan, “Jadilah!” maka jadilah ia.” (Al-Baqoroh: 116-117)
Pada ayat diatas, Allah Ta’ala menyangkal opini yang mengatakan bahwa Dia memiliki anak, seraya menegaskan bahwa diri-Nya adalah zat Yang Maha Kaya, penguasa langit dan bumi.
4. Firman Allah Ta’ala, “mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha suci Allah. Dia-lah yang Maha Kaya. (Semua) yang ada di langit dan bumi adalah milik-Nya. Kalian tidak mempunyai petunjuk apapun mengenai hal ini. Pantaskah kalian mengatakan tentang Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui?” (Yunus: 68)
5. Firman Allah Ta’ala, “dan mereka berkata, “ Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) memiliki anak (dari golongan malaikat)”. Maha suci Allah. Yang benar, (mereka – para malaikat - itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka tidak melangkahi-Nya (dalam mengatur urusan) dengan berinisiatif, 1.dan mereka (selalu) mengerjakan setiap perintahNya. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan dan belakang mereka. Mereka tidak memberikan syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Siapapun diantara mereka yang (berani) berkata, “Aku adalah Ilah selain Allah”, maka kami akan membalasnya dengan Jahannam, demikianlah (cara) kami membalas orang-orang zalim.” (Al-Anbiya: 26-29)
6. Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka berkata: “Ar-Rahman mempunyai anak”. Sungguh kalian mengatakan sebuah (kedustaan) yang amat besar. Karena ucapan mereka itu, hampir-hampir langit terpecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping. (Itu semua) karena mereka menuduh Ar-Rahman mempunyai anak, (padahal) tidak layak bagi Ar-Rahman untuk mempunyai anak. Tidak ada seorangpun di langit dan bumi, melainkan ia akan menghadap Ar-Rahman sebagai seorang hamba. Sungguh Dia telah mengetahui (secara detail) jumlah mereka dan menghitung mereka dengan teliti. Dan mereka semua akan menghadap-Nya pada hari kiamat nanti sendiri-sendiri.” (Maryam: 88-95)
Allah Ta’ala menerangkan betapa buruknya kebohongan ini, sehingga hampir membuat langit terpecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping (Ustadz Rizki Narendra/http://www.belajarislam.com/rukun-iman-bagian-1/)
bersambung insya Allah
1.Iman kepada Allah
2.Iman kepada para malaikat-Nya
3.Iman kepada kitab-kitab-Nya
4.Iman kepada para rosul-Nya
5.Iman kepada hari akhir
6.Iman kepada takdir yang baik dan buruk
Berikut ini beberapa referensi (dalil) yang menerangkan hal ini:
1. Firman Allah Ta’ala, “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan Rabbnya kepadanya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan para rasul-Nya. (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seorang rasul dengan rasul lainnya”, dan mereka mengatakan: “Kami dengar dan Kami taat.” (mereka berdoa): “Wahai Rabb kami, ampunilah kami dan hanya kepada-Mu tempat kembali.” (Al-Baqoroh:285)
2. Firman Allah Ta’ala, “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan rasul-Nya dan kepada kitab yang Dia turunkan kepada rasul-Nya serta kitab yang Dia turunkan sebelumnya. Siapapun yang kafir kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir, maka sungguh dia telah sangat jauh tersesat”. (An-Nisaa: 136)
3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “(Rukun) Iman itu meliputi iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir serta takdir baik dan buruk” (Muttafaq ‘alaih). Adapun menurut redaksi Muslim, hadits tersebut berbunyi: “(Rukun iman meliputi) Iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-Nya, perjumpaan dengan-Nya, para rasul-Nya, serta iman akan adanya kebangkitan (setelah mati) dan iman kepada setiap takdir (baik dan buruk)”
Iman kepada Allah
A. Tauhid merupakan esensi setiap ajaran agama samawi
Pasal 1: Tauhid merupakan fitrah, yang mana Allah ta’ala telah menciptakan dalam diri setiap insan tendensi natural (kecenderungan alamiah) untuk mengikuti fitrah tersebut. Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan hal tersebut:
1. Firman Allah Ta’ala, “dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan Adam dari tulang rusuk mereka dan mengambil kesaksian atas diri mereka (seraya berfirman): “Bukankah aku ini Rabbmu?” mereka menjawab: “Benar, kami bersaksi (bahwa engkau adalah Rabb kami)”. (Kami melakukan hal itu) agar di hari kiamat kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya kami tidak tahu-menahu tentang hal ini (yakni; keesaan Rabb)”. Atau agar kalian tidak mengatakan: “Sesungguhnya nenek moyang kami sejak dahulu telah berbuat syirik, sedangkan kami ini hanyalah keturunan mereka (yang meniru perbuatan mereka). Apakah Engkau akan menyiksa kami (atas) kesalahan (mereka) orang-orang yang sesat?” (Al-A’raaf: 172-173).
Ayat diatas menerangkan bahwasanya Allah ta’ala pernah mengeluarkan anak cucu Adam dari tulang rusuknya, kemudian mengambil kesaksian dari mereka bahwasanya Dia-lah Rabb sekalligus penguasa mereka, dan bahwasanya tidak ada Ilah yang berhak disembah selain-Nya, sesuai dengan fitrah mereka.
2. Firman Allah ta’ala, “(tetaplah diatas) fitrah Allah (yaitu: agama tauhid) yang mana Allah telah menjadikan naluri manusia untuk condong kepada fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.” (Ar-Ruum: 30)
Para ulama telah berkonsensus bahwasanya yang dimaksud dengan “fitrah”dalam ayat diatas adalah islam.
3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “setiap insan terlahir dalam kondisi fitrah (mengikuti agama tauhid), baru kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi. (Mereka terlahir dalam kondisi fitrah) sebagaimana hewan terlahir dengan kondisi anggota tubuh lengkap. Apakah kalian pernah melihat ada hewan yang terlahir tiba-tiba dalam kondisi cacat?” (Muttafaq ‘Alaihi, berdasarkan redaksi Muslim).
Setelah menyampaikan hadits ini, Abu Huroiroh berkata: kalau kau mau, baca saja firman Allah ta’ala: “(tetaplah diatas) fitrah Allah (yaitu: agama tauhid) yang mana Allah telah memberikan manusia naluri untuk mengikuti fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah”. (Ar-Ruum: 30)
Makna dari hadits di atas adalah: seseorang itu menjadi yahudi, nasrani, atau majusi karena terpengaruh oleh kedua orang tuanya. Adapun sebelumnya dia terlahir dalam keadaan fitrah. Sama halnya seperti binatang berkaki pincang. Pada awalnya dia terlahir dalam kondisi sempurna, baru kemudian kepincangan muncul karena suatu sebab.
4. Firman Allah Ta’ala dalam sebuah hadits qudsi, “aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus (fitrah), kemudian para syitan menggoda mereka, menyesatkan mereka dan mengharamkan hal-hal yang aku halalkan untuk mereka”. (HR.Muslim)
Pasal 2: Tauhid merupakan esensi setiap ajaran agama samawi. Berikut ini beberapa dalil yang menerangkan hal tersebut:
1. Firman Allah Ta’ala, “dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya bahwasanya: “tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Aku, maka sembahlah oleh kalian Aku” (Al-Anbiya: 25)
Dalam ayat diatas, Allah ta’ala menerangkan bahwa semua rosul menyeru umatnya untuk beribadah kepada Allah ta’ala semata.
2. Firman Allah Ta’ala, “dan ingatlah saudara kaum ‘Aad (yaitu: Hud) saat dia memberi peringatan kepada kaumnya di Al-Ahqaaf dan telah berlalu beberapa orang pemberi peringatan sebelumnya dan sesudahnya (dengan mengatakan): “Janganlah kalian menyembah selain Allah, sungguh aku khawatir kalau kalian akan ditimpa azab hari yang besar”. (Al-Ahqaaf: 21).
Allah Ta’ala menerangkan bahwasanya para rosul yang datang sebelum dan sesudah masa nabi Hud – ‘alaihissalam- mengajak umatnya untuk menyembah Allah ta’ala semata.
3. Firman Allah Ta’ala, “dan sungguh Kami telah mengutus rasul kepada setiap umat (untuk menyerukan): “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut” (An-Nahl: 36)
Allah Ta’ala menerangkan bahwa semua rosul diutus kepada umat mereka dengan mengusung ajaran tauhid, menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah Ta’ala semata, serta antipati terhadap sesembahan lain selain-Nya.
2. Firman Allah Ta’ala, “Katakanlah, “Hai ahli kitab, mari (kita berpegang teguh) pada sebuah kata sepakat yang mana antara (ajaran) kami dan kalian (tidak ada perselisihan tentangnya), yaitu: kita tidak menyembah (siapapun) kecuali Allah, tidak menyekutukan Dia dengan suatu apapun, dan tidak (pula) seorang pun diantara kita mengangkat orang lain dari golongan kita sebagai Ilah selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakan pada mereka, “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. (Ali-‘Imron:64)
Peringatan ini ditujukan kepada orang-orang ahli kitab, baik dari golongan yahudi, nasrani maupun yang semisal dengan mereka. Adapun “kata sepakat” di sini adalah sebuah konsensus semua ajaran agama samawi yang tidak ada perselisihan diantara mereka mengenai hal ini, yaitu: seruan untuk beribadah kepada Allah ta’ala semata (tauhid) dan larangan untuk mengangkat seorangpun dari kalangan manusia sebagai tuhan.
3. Sabda Rosulullah -sholallahu ‘alaihi wasalam-, “Para nabi bagaikan Ikhwah Li’allat (saudara seayah dari) ibu yang berbeda. (Walaupun syariat mereka berbeda, namun) agama mereka tetaplah satu” (Muttafaq ‘Alaihi)
Makna dari hadits diatas adalah: Para nabi bagaikan saudara-saudara seayah. Walaupun ibu mereka berbeda, namun asal-usul mereka tetaplah sama. Pun begitu syariat para nabi, meskipun berbeda namun keyakinan fundamental mereka tetaplah sama, yaitu tauhid.
Pasal 3: Kesyirikan dengan berbagai macam bentuknya, seperti: ibadah kepada selain Allah Ta’ala, keyakinan bahwa Allah Ta’ala memiliki keturunan, keyakinan bahwa Allah ta’ala bersatu dengan raga manusia, dan lain sebagainya, adalah fenomena yang datang belakangan (bukan termasuk bagian dari ajaran tauhid), dan para nabi berlepas diri dari semua itu. Berikut ini beberapa dalil yang meneragkan hal tersebut:
1. Firman Allah Ta’ala, “Tidak mungkin seorang manusia yang telah Allah anugrahi alkitab, hikmah dan kenabian, lalu dia menyeru manusia, “Hendaklah kalian menjadi hamba-hambaku bukan (hamba-hamba) Allah”, akan tetapi (dia akan berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kalian selalu mengajarkan alkitab serta mempelajarinya”. dan (tidak mungkin pula dia) menyuruh kalian mengangkat para malaikat dan nabi sebagai Rabb. Patutkah dia menyuruh kalian berbuat kekafiran setelah kalian (menganut agama) Islam?” (Ali-Imron: 79-80)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa tidak sepantasnya salah seorang utusan-Nya melakukan propaganda kepada umatnya untuk menyembah dirinya. Kalau para nabi dan rosul saja tidak pantas disembah, apalagi manusia biasa yang statusnya lebih rendah dari mereka.
2. Firman Allah Ta’ala, “dan (ingatlah) saat Allah berfirman, “Hai Isa putera Maryam, apakah engkau menyeru manusia, “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang ilah selain Allah”?” Isa menjawab, “Maha suci Engkau, tidak sepantasnya aku mengatakan sesuatu yang aku tidak berhak (untuk mengatakannya). Andai aku berkata demikian, tentu Engkau mengetahui hal itu. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha mengetahui setiap perkara ghaib”. Aku tidak pernah menyeru mereka kecuali kepada apa yang Engkau perintahkan aku (untuk mengatakannya) Yaitu: “Sembahlah Allah, Rabbku dan Rabb kalian!”. Dan aku menjadi saksi terhadap mereka, selama aku masih (hidup) bersama mereka. Maka setelah Engkau wafatkan aku, Engkau-lah yang mengawasi mereka, dan Engkau Maha menyaksikan segala sesuatu”. (Al-Maidah:116-117)
Pada ayat di atas, Allah Ta’ala membantah persepsi keliru kaum nasrani yang mengatakan bahwa nabi Isa – ‘alaihissalam – melakukan propaganda kepada umatnya untuk menyembah dirinya dan juga ibundanya.
3. Firman Allah Ta’ala, “mereka (orang-orang kafir) berkata, “Allah mempunyai anak”. Maha suci Allah. Bahkan apa yang ada di langit dan di bumi adalah milik-Nya, (dan) semua tunduk kepada-Nya. (Allah-lah) Pencipta langit dan bumi. Apabila Dia menghendaki sesuatu, maka (cukup) mengatakan, “Jadilah!” maka jadilah ia.” (Al-Baqoroh: 116-117)
Pada ayat diatas, Allah Ta’ala menyangkal opini yang mengatakan bahwa Dia memiliki anak, seraya menegaskan bahwa diri-Nya adalah zat Yang Maha Kaya, penguasa langit dan bumi.
4. Firman Allah Ta’ala, “mereka (orang-orang Yahudi dan Nasrani) berkata: “Allah mempuyai anak”. Maha suci Allah. Dia-lah yang Maha Kaya. (Semua) yang ada di langit dan bumi adalah milik-Nya. Kalian tidak mempunyai petunjuk apapun mengenai hal ini. Pantaskah kalian mengatakan tentang Allah sesuatu yang tidak kalian ketahui?” (Yunus: 68)
5. Firman Allah Ta’ala, “dan mereka berkata, “ Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) memiliki anak (dari golongan malaikat)”. Maha suci Allah. Yang benar, (mereka – para malaikat - itu) adalah hamba-hamba yang dimuliakan. Mereka tidak melangkahi-Nya (dalam mengatur urusan) dengan berinisiatif, 1.dan mereka (selalu) mengerjakan setiap perintahNya. Dia mengetahui segala sesuatu yang ada dihadapan dan belakang mereka. Mereka tidak memberikan syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepada-Nya. Siapapun diantara mereka yang (berani) berkata, “Aku adalah Ilah selain Allah”, maka kami akan membalasnya dengan Jahannam, demikianlah (cara) kami membalas orang-orang zalim.” (Al-Anbiya: 26-29)
6. Firman Allah Ta’ala, “Dan mereka berkata: “Ar-Rahman mempunyai anak”. Sungguh kalian mengatakan sebuah (kedustaan) yang amat besar. Karena ucapan mereka itu, hampir-hampir langit terpecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping. (Itu semua) karena mereka menuduh Ar-Rahman mempunyai anak, (padahal) tidak layak bagi Ar-Rahman untuk mempunyai anak. Tidak ada seorangpun di langit dan bumi, melainkan ia akan menghadap Ar-Rahman sebagai seorang hamba. Sungguh Dia telah mengetahui (secara detail) jumlah mereka dan menghitung mereka dengan teliti. Dan mereka semua akan menghadap-Nya pada hari kiamat nanti sendiri-sendiri.” (Maryam: 88-95)
Allah Ta’ala menerangkan betapa buruknya kebohongan ini, sehingga hampir membuat langit terpecah, bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh berkeping-keping (Ustadz Rizki Narendra/http://www.belajarislam.com/rukun-iman-bagian-1/)
bersambung insya Allah
Lebih Sayang kepada Anak dan Lebih Perhatian kepada Suami
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Aku mendengar Rasulullah bersabda,
Wanita-wanita Quraisy adalah sebaik-baik wanita yang menunggang unta; lebih sayang kepada anak dan lebih perhatian kepada suami dalam hal hak miliknya.”
(HR. Bukhari)
Penjelasan Hadits:
Kendati Hadits ini pendek dan sedikit kalimat, namun mengandung dua petunjuk yang agung bagi setiap wanita dibalik pujian yang diberikan kepada wanita-wanita Quraisy.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan nilai lebih kepada wanita Quraisy dibanding dengan wanita-wanita Arab lainnya yang pada umumnya menunggang unta, “Wanita-wanita Quraisy adalah sebaik-baik wanita yang menunggang unta.”
Nilai lebih ini diberikan karena adanya dua hal yang dimiliki oleh wanita-wanita Quraisy. Dua hal itu -sebagaimana dinyatakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ialah:
1. Lebih sayang kepada anak.
2. Lebih perhatian kepada suami dalam hal hak miliknya.
Beliau tidak menyatakan, “Mereka sayang kepada anak dan perhatian kepada suami dalam hal hak miliknya”, karena dua hal ini ada–atau seharusnya ada- pada diri setiap wanita. Beliau menyatakan “lebih sayang” dan “lebih perhatian” dengan redaksi yang menunjukkan kelebihan (komparasi). Artinya, wanita-wanita Quraisy lebih unggul dari wanita-wanita Arab lainnya dalam hal kasih sayang kepada anak dan perhatian kepada suami dalam mengurus hak miliknya.
“Lebih sayang kepada anak” artinya lebih besar belas kasihnya, lebih kuat rasa sayangnya dan lebih halus perasaannya. Wanita yang sayang kepada anaknya adalah wanita yang mau mengurus anaknya secara total sepeninggal ayahnya. Dus, wanita dianggap sayang kepada anaknya manakala ia tidak mau menikah sepeninggal suaminya. Namun ini tidak berarti larangan menikah lagi bagi wanita yang ditinggal mati suaminya. Hanya saja memberikan penjelasan bahwa wanita yang mau berkonsentrasi mengurus anak-anaknya lebih baik daripada wanita yang menikah lagi setelah ditinggal mati oleh ayah dari anak-anaknya.
Tidak disangsikan bahwa wanita tersebut adalah sosok ibu yang rela berkorban demi anak-anaknya. Ia enggan menikah dan lebih memilih untuk berkonsentrasi merawat anak-anaknya. Kendati ia tidak akan melepaskan diri dari mereka setelah pernikahannya yang kedua, akan tetapi tuntutan dan kebutuhan suami, serta kemungkinan akan lahirnya anak-anak lain dari suami kedua, semua itu boleh jadi akan mengurangi perhatiannya kepada mereka.
Saya perlu menegaskan kembali di sini bahwa hal itu tidak bisa digeneralisir. Sebab, boleh jadi setelah ditinggal mati suaminya seorang wanita tidak memiliki kemampuan untuk menghidupi dirinya dan anak-anaknya, dan mau tidak mau ia membutuhkan orang yang bisa mencukupi hal itu. Sehingga pernikahannya yang kedua akan menjadi solusi yang tepat untuk mengeluarkannya dari krisis yang dihadapinya.
Dan kita menemukan banyak sahabat wanita yang menikah lagi setelah kematian suaminya, tanpa ada masalah atau caci maki yang ditujukan kepada mereka dikarenakan hal tersebut.
“Lebih perhatian kepada suami dalam hal hak miliknya” maksudnya menjaga harta suaminya dengan amanah, mengelola uang belanja dengan baik dan sebagainya.
Sikap inilah yang terkadang tidak kita jumpai pada diri banyak istri masa kini. Istri yang tidak memiliki sikap semacam ini akan membelanjakan harta suaminya tanpa perhitungan, membeli apa yang perlu dan apa yang tidak perlu, apa yang urgent (penting) dan apa yang tidak urgent, tanpa pernah menghargai kerja keras suaminya dalam upaya mendapatkan uang. la juga tidak mau menabung untuk mengantisipasi masa depan yang boleh jadi akan memerlukan biaya yang lebih besar, dan boleh jadi penghasilan akan berkurang, sementara harga barang-barang melambung tinggi.
Barangkali kemauan seorang wanita untuk menghiasi diri dengan salah satu dari dua hal ini secara otomatis akan membuatnya menghiasi dirinya dengan hal yang lainnya, dan sebaliknya keengganan untuk menghiasi diri dengan salah satunya akan menyebabkan dirinya enggan menghiasi diri dengan hal yang lainnya. Sebab, istri yang bisa mengurus dan menjaga harta suaminya akan mampu ketika ditinggal mati suaminya memberikan nafkah kepada anak-anaknya dari harta yang disimpan dan tabungnya tanpa perlu menikah lagi. Sementara istri yang suka menghabiskan harta suaminya tanpa perhitungan, tidak akan memiliki harta yang ketika ditinggal mati suaminya bisa membuatnya tidak perlu menikah lagi dan bisa digunakan untuk berkonsentrasi dalam mendidik dan menyayangi anak-anaknya.
Disalin dari buku “Aku Tersanjung” (Kumpulan Hadits-hadits Pemberdayaan Wanita dari Kitab Shahih Bukhari & Muslim Berikut Penjelasannya), Karya Muhammad Rasyid al-Uwayyid.
Rabu, 27 April 2011
Hukum Melakukan Operasi Selaput Dara
Seorang gadis terkoyak selaput daranya karena satu sebab. Bolehkah ia melakukan operasi selaput dara untuk mengembalikannya seperti semula?
Alhamdulillah, permasalahan ini termasuk masalah aktual yang banyak dibicarakan orang sekarang.
Dalam kesempatan kali ini sangat tepat sekali disebutkan dua pendapat ulama berkenaan dengan masalah ini dan memilih pendapat yang terkuat.
Pendapat pertama: Tidak dibolehkan mengoperasi selaput dara hingga seperti sedia kala.
Pendapat kedua: Masalah ini perlu diperinci sebagai berikut:
1. Jika terkoyaknya selaput dara disebabkan perbuatan yang dianggap dosa oleh syariat, yaitu perbuatan zina, maka perlu dilihat:
Jika berat dugaan bahwa si wanita itu akan menemui kesulitan dan gangguan disebabkan adat dan kebudayaan setempat maka operasi selaput dara mesti dilakukan.
Jika dokter tidak memandangnya sebagai problem yang serius maka pelaksanaan opersai selaput dara hanya sebatas anjuran saja.
2. Jika terkoyaknya selaput dara disebabkan hubungan seksual setelah terikat dalam tali perkawinan seperti pada wanita yang tertalak atau disebabkan perbuatan zina yang sudah masyhur di tengah masyarakat maka operasi selaput dara haram dilakukan.
3. Jika sebabnya adalah perbuatan zina yang tidak masyhur di tengah masyarakat dan dokter dihadapkan kepada dua pilihan antara melakukan operasi selaput dara ataukah tidak, maka yang terbaik adalah tetap melakukan operasi.
Sisi-sisi perbedaan pendapat:
Perbedaan pendapat ini dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Pada kondisi kedua, kedua pendapat tersebut sepakat atas haramnya operasi selaput dara. Sementara pada kondisi pertama dan ketiga kedua pendapat tersebut saling berbeda.
Argumentasi yang dibawakan kedua belah pihak:
Argumentasi kelompok pertama (yang sama sekali tidak membolehkan operasi selaput dara):
Pertama: Operasi selaput dara dapat menimbulkan tercampur baurnya garis keturunan. Boleh jadi si wanita itu telah hamil akibat persetubuhan sebelumnya kemudian setelah melakukan operasi selaput dara ia menikah dengan pria lain. Hal itu menyebabkan janin yang dikandungnya dinasabkan kepada suaminya yang terakhir sehingga tercampurlah yang halal dengan yang haram.
Kedua: Operasi selaput dara menyebabkan aurat vitalnya terlihat.
Ketiga: Operasi selaput dara memudahkan muda-mudi melakukan perbuatan dosa (zina) karena mereka tahu bahwa selaput dara dapat kembali seperti sedia kala selepas bersetubuh.
Keempat: Bilamana berbenturan antara maslahat dan mafsadat maka yang kita pilih adalah meraih maslahat tanpa menimbulkan mafsadat. Itulah yang terbaik. Bilamana hal itu tidak mungkin diwujudkan maka jika mafsadat yang timbul lebih besar daripada maslahat yang hendak diraih hendaklah mendahulukan menolak mafsadat tanpa harus mempertimbangkan maslahat yang luput, sebagaimana yang ditetapkan oleh para ahli fiqih.
Berdasarkan kaidah di atas, jika kita lihat besarnya mafsadat yang ditimbulkan operasi selaput dara ini maka dapatlah kita putuskan bahwa tidak boleh melakukan operasi selaput dara karena mafsadat yang ditimbulkannya sangat besar.
Kelima: Salah satu kaidah syariat menyatakan: "kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan pula" diantara cabang kaidah ini adalah "Tidak dibolehkan mengelakkan kerugian tanahnya dengan merugikan tanah orang lain" demikian pula seorang pemudi atau ibunya tidak boleh mengelakkan mudharat (koyaknya selaput dara) dengan melakukan operasi selaput dara dan menimpakan mudharatnya kepada suaminya.
Keenam: Dasar-dasar melakukan operasi selaput dara dianggap tidak syar'i, karena mengandung unsur penipuan. Dan syariat telah mengharamkan penipuan.
Ketujuh: Operasi selaput dara membuka pintu dusta bagi pemuda-pemudi dan bagi keluarga mereka dengan menyembunyikan hakikat sebenarnya. Dan syariat telah mengharamkan dusta.
Kedelapan: Operasi selaput dara membuka pintu bagi para dokter untuk melakukan praktek aborsi dengan alasan menyembunyikan aib.
Argumentasi kelompok kedua:
Pertama: Nash-nash Al-Qur'an dan As-Sunnah menganjurkan kita supaya menutup aib. Operasi selaput dara adalah salah satu jalan yang dapat mewujudkan hal itu pada kondisi-kondisi yang dibolehkan sebagaimana yang telah diurai di atas.
Kedua: Bagi wanita yang tidak bersalah (tidak melakukan perbuatan dosa), dengan operasi selaput dara itu berarti telah menepis anggapan jelek terhadap dirinya. Dan hal itu termasuk mencegah kezhaliman atas dirinya. Dan juga sebagai realisasi nash-nash syar'i yang memandang perlu berbaik sangka kepada kaum mukminin dan mukminah.
Ketiga: Operasi selaput dara dapat menghilangkan mudharat atas keluarga si wanita. Jika si wanita dibiarkan tanpa di operasi lalu diketahui oleh pihak suami tentunya akan merugikan dirinya dan keluarganya. Jika berita tersebut tersebar ke mana-mana maka orang-orang nantinya enggan menikahi wanita dari keluarga mereka. Oleh sebab itu, mereka dianjurkan menghilangkan mudharat itu karena mereka sendiri terlepas dari faktor-faktor penyebabnya.
Keempat: Tindakan para dokter muslim yang menepis indikasi-indikasi negatif bahwa wanita telah berbuat dosa merupakan salah satu pengajaran umum bagi masyarakat, khususnya berkaitan dengan psikologi si wanita itu.
Kelima: Unsur penipuan tidaklah ada pada proses operasi selaput dara untuk kondisi-kondisi yang dibolehkan yang telah kita sebutkan di atas.
Pendapat terpilih:
Pendapat terpilih -wallahu a'lam- adalah pendapat yang tidak membolehkan operasi selaput dara secara mutlak, berdasarkan argumentasi berikut ini:
Pertama: Kevalidan argumentasi yang disebutkan kelompok pertama tadi.
Kedua: Adapun argumentasi pendapat kedua dapat dibantah sebagai berikut:
Bantahan argumen pertama:
Menutup aib yang dituntut syariat adalah dengan wasilah yang dibolehkan syariat. Adapun operasi selaput dara tidak memenuhi kriteria tersebut. Bahkan pada dasarnya dilarang karena dapat menyingkap aurat dan membuka pintu kerusakan.
Bantahan argumen kedua:
Menutup pintu berburuk sangka bisa diwujudkan dengan cara menceritakannya sebelum akad nikah. Si lelaki tentunya akan menikahi wanita itu jika ia ridha, jika tidak maka Allah akan mengganti baginya pria yang lain.
Bantahan argumen ketiga:
Mafsadah yang disebutkan tidak akan hilang dengan operasi selaput dara, sebab boleh jadi suaminya kelak akan mengetahuinya juga. Boleh jadi orang lain menceritakan perihal itu kepadanya. Kemudian mafsadah tersebut muncul bilamana hal itu tidak diceritakan kepada lelaki calon suaminya sebelum pernikahan. Padahal seharusnya hal itu diceritakan dan diberitahu kepadanya. Jika si lelaki itu tetap ingin maju meminangnya maka hilanglah segala kekhawatiran tersebut, demikian pula halnya dengan masalah-masalah lain bagaimanapun besarnya.
Bantahan argumen keempat:
Kendati menepis aib dengan operasi selaput dara mendatangkan maslahat, akan tetapi juga mendatangkan mudharat. Diantaranya adalah mempermudah jalan untuk melakukan perbuatan zina. Sementara menolak mafsadat lebih di dahulukan daripda meraih maslahat.
Bantahan argumen kelima:
Tidak dapat kami terima bahwa hal itu bisa terhindar dari unsur penipuan. Sebab selaput dara yang dioperasi tadi menjadi palsu bukan asli lagi. Anggaplah unsur penipuan terhadap sang suami dapat ditepis karena selaput daranya terkoyak karena melompat ataupun sebab-sebab alami lainnya. Akan tetapi tidak dapat diterima jika dikatakan bahwa tidak ada unsur penipuan bilamana selaput dara terkoyak karena diperkosa.
Ketiga: Pintu-pintu kerusakan yang harus dicegah seperti yang diungkapkan kelompok pertama merupakan perkara yang sangat penting. Terutama bila terkuaknya kehormatan alat kelamin yang sangat vital. Tentu saja pendapat kelompok kedua, yang membolehkan operasi selaput dara, bisa menimbulkan kerusakan dan mafsadat.
Keempat: Pada dasarnya kehormatan aurat harus dijaga. Jangan sampai disingkap dilihat dan disentuh. Alasan-alasan yang disebutkan kelompok kedua tidaklah kuat hingga hukum operasi selaput dara bisa dikecualikan. Maka hukum asal tersebut harus dipertahankan, dengan demikian operasi selaput dara juga dilarang.
Kelima: Masalah tuduhan orang terhadap diri wanita itu dapat diatasi dengan surat keterangan kesehatan yang menegaskan terlepasnya diri wanita itu dari perbuatan zina. Itulah cara yang paling terbaik, dengan demikian operasi selaput dara bukanlah perkara yang perlu dilakukan.
Oleh sebab itu pula para dokter dan para wanita tidak boleh melakukan operasi seperti itu. Wallahu a'lam.
Silakan baca buku Ahkamul Jirahah Ath-Thibbiyah Wal Atsar Al-Mutarattibah Alaiha karangan Dr.Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithi hal 403.
Beberapa ahli ilmu mengeluarkan fatwa yang membolehkan operasi selaput dara ini bagi wanita-wanita korban perkosaan dan wanita-wanita yang bertaubat dari zina. Adapun wanita yang belum bertaubat, tidak boleh melakukan operasi ini. Sebab hal itu justru membantunya untuk terus melakukan perbuatan dosa. Demikian pula wanita-wanita yang telah dinikahi, tidak boleh melakukan operasi ini. Sebab hal itu berarti membantunya melakukan penipuan dan pemalsuan, karena pria yang menikahinya setelah ia melakukan operasi itu menyangka ia masih gadis padahal tidak demikian. Wallahu a'lam.
Islam Tanya & Jawab Syeikh Muhammad Sholih Al-Munajid/http://www.islam-qa.com/id/ref/7833/kriteria
Kelalaian dan Kesalahan Orang Tua dalam Mendidik Anak (2)
Meski begitu besar tanggungjawab dalam mendidik anak ,namun banyak orangtua yang melalaikannya.Bahkan tidak sedikit yang menganggap enteng amanah tersebut.Mereka tidak memelihara dengan sebaik-baiknya.Mereka menelantarkan anak-anaknya ,mengabaikan pendidikannya,tidak memeprhatikan dan tidak mengarahkan mereka.
Begitu mereka melihat benih-benih penyimpangan dan kenakalan pada anak-anak mereka ,mulailah mereka menghardik dan mengeluhkannya.Mereka tidak menyadari,penyebab utama dari kenakalan dan penyimpangan itu adalah kelalaian mereka sendiri .Sebagaimana dikatakan dalam sebuah sya’ir,
Pada edisi lalu telah kami sebutkan tiga bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:
4. Memanjakan Anak dan menuruti Semua Keinginannya.
Ada sebagian orang tua yang selalu menuruti apa yang diminta dan diinginkan oleh Anaknya. Tidak ada satupun permintan yang mereka tolak. Tipe orang tua seperti ini terlalu berlebih-lebihan dan tanpa perhitungan dengan memberikan segalanya untuk sang anak.
Melihat sikap orang tua seperti ini, sang anak akan terbiasa menghamburkan harta dan membelanjakannya hanya sekedar untuk menuruti kesenangannya semata. Hal ini akan membuat mereka semakin buta dan tidak peduli dengan nilai harta (uang), serta tidak dapat menggunakan harta yang dimilikinya dengan baik.
5. Mengabulkan Semua Permintaan Anak.
Sering terjadi, bahwa anak-anak yang masih kecil meminta sesuatu (permintaan) kepada ayah atau ibunya. Lalu, ketika ayah atau ibunya menolak permintaannya, maka sang anak akan menangis tanpa henti-hentinya sampai dikabulkannya permintaannya. Ketika orang tua mengalah dalam masalah ini atau memenuhi permintaannya, baik karena alasan sayang kepada anak, agar tangisan anak terhenti, ataupun alasan-alasan yang lain. Maka, ini merupakan bentuk sikap yang salah. Sebab, hal ini justru dapat menyebabkan ketidakmandirian dan kelemahan pada diri anak.
Dr. Muhammad Ash-Shabbag mengatakan, “Saya mendengar perkataan dari Malik bin Nabi rahimahullah bahwa ada seseorang yang meminta saran dalam mendidik anak laki-laki atau anak perempuan yang baru lahir. Maka Malik bertanya, “Berapa umurnya ?” Orang tersebut menjawab, “Sebulan.” Maka Malik berkata, “Engkau telah ketinggalan kereta!”
Malik melanjutkan, “Sebelumnya saya menyangka bahwa apa yang saya katakan berlebihan, akan tetapi ketika saya merenungkan, maka saya menyadari bahwa apa yang saya katakan itu benar. Hal ini karena setiap anak menangis, maka ibunya memberinya susu, sehingga terpatri dalam jiwanya bahwa “teriakan” adalah cara untuk mewujudkan keinginan, dan si anak akan tumbuh dengan persepsi ini. Maka, ketika orang-orang Yahudi memukulnya ia menangis, ia menangis di majlis keamanan, dia mengira bahwa tangisannya akan menghantarkannya untuk mendapatkan haknya.
6. Membelikan Mobil untuk Anak yang Usianya Masih Belia.
Sebagian orang tua membelikan mobil (kendaraan) untuk anak-anak mereka saat usianya masih belia. Alasan yang ada, bisa jadi karena sang anak terus menerus memintanya, atau karena sang ayah ingin bebas dari banyaknya tuntutan kebutuhan rumah dan ingin mengalihkannya kepada permasalahn anaknya. Atau sang anak terus menerus meminta melalui sang ibu, kemudian sang ibu berganti merengek kepada sang ayah. Atau berbagai alasan lain
yang digunakan.
Ketika sang anak berhasil mendapatkan mobil idamannya, biasanya ia mulai bersikap menyimpang. Bisa dipastikan dia banyak begadang di malam hari, sering keluar rumah, banyak berinteraksi dan berteman dengan orang-orang yang tidak baik, banyak orang yang terganggu dengan ulah mereka, atau mulai bolos sekolah. Demikianlah, muncul kenakalan anak dari kesalahan sikap kedua orang tuanya, sehingga sangat sulit untuk dikendalikan dan diarahkan.
(Bersambung insya Allah)
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.
Begitu mereka melihat benih-benih penyimpangan dan kenakalan pada anak-anak mereka ,mulailah mereka menghardik dan mengeluhkannya.Mereka tidak menyadari,penyebab utama dari kenakalan dan penyimpangan itu adalah kelalaian mereka sendiri .Sebagaimana dikatakan dalam sebuah sya’ir,
Dia telah campakkan anak-anaknya ketelaga dengan terbelenggu
Lalu berkata,”jangan sekali-kali engakau basah dengan air!”
Lalu berkata,”jangan sekali-kali engakau basah dengan air!”
Pada edisi lalu telah kami sebutkan tiga bentuk kelalaian dalam mendidik anak. Berikut ini kembali kami sebutkan beberapa kelalaian yang lain, dan masih merupakan kelanjutan dari kelalaian sebelumnya. Diantara bentuk-bentuk kelalaian itu adalah:
4. Memanjakan Anak dan menuruti Semua Keinginannya.
Ada sebagian orang tua yang selalu menuruti apa yang diminta dan diinginkan oleh Anaknya. Tidak ada satupun permintan yang mereka tolak. Tipe orang tua seperti ini terlalu berlebih-lebihan dan tanpa perhitungan dengan memberikan segalanya untuk sang anak.
Melihat sikap orang tua seperti ini, sang anak akan terbiasa menghamburkan harta dan membelanjakannya hanya sekedar untuk menuruti kesenangannya semata. Hal ini akan membuat mereka semakin buta dan tidak peduli dengan nilai harta (uang), serta tidak dapat menggunakan harta yang dimilikinya dengan baik.
5. Mengabulkan Semua Permintaan Anak.
Sering terjadi, bahwa anak-anak yang masih kecil meminta sesuatu (permintaan) kepada ayah atau ibunya. Lalu, ketika ayah atau ibunya menolak permintaannya, maka sang anak akan menangis tanpa henti-hentinya sampai dikabulkannya permintaannya. Ketika orang tua mengalah dalam masalah ini atau memenuhi permintaannya, baik karena alasan sayang kepada anak, agar tangisan anak terhenti, ataupun alasan-alasan yang lain. Maka, ini merupakan bentuk sikap yang salah. Sebab, hal ini justru dapat menyebabkan ketidakmandirian dan kelemahan pada diri anak.
Dr. Muhammad Ash-Shabbag mengatakan, “Saya mendengar perkataan dari Malik bin Nabi rahimahullah bahwa ada seseorang yang meminta saran dalam mendidik anak laki-laki atau anak perempuan yang baru lahir. Maka Malik bertanya, “Berapa umurnya ?” Orang tersebut menjawab, “Sebulan.” Maka Malik berkata, “Engkau telah ketinggalan kereta!”
Malik melanjutkan, “Sebelumnya saya menyangka bahwa apa yang saya katakan berlebihan, akan tetapi ketika saya merenungkan, maka saya menyadari bahwa apa yang saya katakan itu benar. Hal ini karena setiap anak menangis, maka ibunya memberinya susu, sehingga terpatri dalam jiwanya bahwa “teriakan” adalah cara untuk mewujudkan keinginan, dan si anak akan tumbuh dengan persepsi ini. Maka, ketika orang-orang Yahudi memukulnya ia menangis, ia menangis di majlis keamanan, dia mengira bahwa tangisannya akan menghantarkannya untuk mendapatkan haknya.
6. Membelikan Mobil untuk Anak yang Usianya Masih Belia.
Sebagian orang tua membelikan mobil (kendaraan) untuk anak-anak mereka saat usianya masih belia. Alasan yang ada, bisa jadi karena sang anak terus menerus memintanya, atau karena sang ayah ingin bebas dari banyaknya tuntutan kebutuhan rumah dan ingin mengalihkannya kepada permasalahn anaknya. Atau sang anak terus menerus meminta melalui sang ibu, kemudian sang ibu berganti merengek kepada sang ayah. Atau berbagai alasan lain
yang digunakan.
Ketika sang anak berhasil mendapatkan mobil idamannya, biasanya ia mulai bersikap menyimpang. Bisa dipastikan dia banyak begadang di malam hari, sering keluar rumah, banyak berinteraksi dan berteman dengan orang-orang yang tidak baik, banyak orang yang terganggu dengan ulah mereka, atau mulai bolos sekolah. Demikianlah, muncul kenakalan anak dari kesalahan sikap kedua orang tuanya, sehingga sangat sulit untuk dikendalikan dan diarahkan.
(Bersambung insya Allah)
Sumber : Disalin dari buku “Jangan Salah Mendidik Buah Hati” karya Syaikh Muhammad bin Ibrahim al Hamd.
Wanita Manakah yang Lebih Anda Kagumi?
Dari Khansa’ binti Khidam Al-Anshariyah diceritakan bahwa ayahnya pernah menikahkannya sewaktu dirinya menjanda, namun ia tidak menyukai hal itu. Kemudian ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menolak pernikahannya.”
(HR. Bukhari)
(HR. Bukhari)
Penjelasan Hadits:
Imam Bukhari mendokumentasikan Hadits ini dengan judul Bab “Jika Seseorang Menikahkan Putrinya, Namun Ia Tidak Menyukainya, maka Pernikahannya Ditolak.” Dan di dalam komentarnya, Ibnu Hajar rahimahumullah, mengatakan, “Demikianlah beliau menyatakan hal itu secara mutlak (tidak terbatas), sehingga mencakup anak gadis maupun janda.” Kemudian dia menambahkan, “Pernikahan ditolak-apabila pengantin wanita seorang janda yang dinikahkan tanpa persetujuannya-menurut Ijma’ (kesepakatan). Artinya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli fiqih (fugaha’).
Di dalam riwayat lain dari jalur Abu Bakar bin Muhammad diceritakan, “Bahwasanya ada seorang pria dari kalangan Anshar menikahi Khansa’ binti Khidam. Lalu pria itu gugur di dalam Perang Uhud. Kemudian ayahnya menikahkannya dengan pria lain. Lalu ia mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan, Ayahku telah menikahkan aku. Sebenarnya paman anakku lebih aku sukai.” Riwayat ini menunjukkan bahwa ia memiliki anak dari suaminya yang pertama.
Pada riwayat yang kedua ini kita melihat bahwa Khansa’ tidak saja menolak pria pilihan ayahnya, namun ia bahkan menyatakan secara ekplisit siapa yang ia inginkan untuk menjadi suaminya dan menurutnya lebih baik untuk dirinya dan anaknya, yaitu adik mantan suaminya. la menyatakan, “Sebenarnya paman anakku lebih aku sukai.” Dengan statemen yang sangat tegas ini ia tidak ingin menyembunyikan perasaannya. Ia lebih memilih untuk mengungkapkan isi hatinya secara terang-terangan bahwa ia lebih cenderung kepada adik mantan suaminya.
Dengan aksi tersebut Khansa’ binti Khidam telah membantu wanita-wanita lainnya yang tidak suka dengan pilihan orang tuanya untuk mendeklarasikan penolakannya secara terbuka. Yakni menolak pria pilihan orang tuanya. Seperti yang diceritakan oleh Yahya bin Said dari Al-Qasim, “Bahwasanya ada seorang wanita dari (kaum) Ja’far yang merasa takut akan dinikahkan oleh walinya dengan pria yang tidak disukainya. Kemudian ia mengirim surat kepada dua orang Syaikh dari kalangan Anshar, yakni Abdurrahman bin Jariyah dan Majma’ bin Jariyah. Kedua Syaikh itu lantas mengatakan kepadanya, “Kamu tidak usah takut, karena Khansa’ binti Khidam pernah dinikahkan oleh ayahnya dengan pria yang tidak disukainya, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menolak (pernikahan) itu.
Demikianlah, kedua Syaikh dari kalangan Anshar itu menenangkan hati wanita tersebut, dan secara spontan memberikan landasan hukumnya. Yaitu penolakan Khansa’ terhadap sikap ayahnya yang menikahkannya dengan pria yang tidak disukainya, dan penolakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam atas pernikahan tersebut karena tidak adanya persetujuan dari pihak wanita.
Ibnu Hajar Rahimahumullah memberikan informasi yang rinci tentang Hadits tersebut di atas dengan menyatakan bahwa wanita dari klan Ja’far tersebut ialah Ummu Ja’far binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib. Sedangkan walinya ialah paman ayahnya, Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far. la menjadi janda dari suaminya yang bernama Hamzah bin Abdullah bin Zubair. Kemudian ia mengirim surat kepada Al-Qasim bin Muhammad dan Abdurrahman bin Yazid. Dalam suratnya, ia menyatakan, “Saya benar-benar merasa tidak aman bahwa Mu’awiyah akan meletakkan diriku di tangan laki-laki yang tidak aku setujui.” Lalu Abdurrahman mengatakan kepadanya, “Dia tidak berhak melakukan itu. Dan andaikata dia melakukannya, maka hal itu tidak dibenarkan.”
Wanita manakah yang lebih anda kagumi? Apakah Khansa’ yang mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berharap mendapatkan hak untuk menolak pilihan ayahnya dan hak untuk memilih sendiri orang yang akan menjadi suaminya? Ataukah Ummu Ja’far yang mengirim surat kepada dua orang Syaikh dari kalangan Anshar untuk mengungkapkan ketakutannya dan rasa tidak amannya bahwa walinya akan menikahkannya dengan orang yang tidak disetujuinya?
Mereka adalah wanita-wanita muslimah yang mengetahui bahwa Islam tidak akan merampas hak tersebut. Mereka memahami bahwa Islam memperhatikan kepentingan mereka dan menjaga perasaan mereka. Dan mereka juga menyadari bahwa Islam tidak akan memaksa mereka untuk menikah dengan orang yang tidak mereka kehendaki.
Dus, para orang tua dan para wali hendaknya tidak mencampuradukkan antara tradisi dan kebiasaan yang salah dengan syari’at agama yang toleran dan adil.
Selasa, 26 April 2011
Ta'dzim as Sunnah
Potret Pengagungan Ulama Salaf Terhadap Sunnah
Karya: Fadhilatus Syaikh Abdul Qoyyum as-Suhaibaniy -Hafidhahullah-
Alih Bahasa: Abu Shafa Luqmanul Hakim
Bagian I
Karya: Fadhilatus Syaikh Abdul Qoyyum as-Suhaibaniy -Hafidhahullah-
Alih Bahasa: Abu Shafa Luqmanul Hakim
Bagian I
Muqaddimah
إنّ الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا, من يهده الله فلا مضلّ له ومن يضلل فلا هادي له, أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمدا عبده و رسوله.
قال تعالى : يا أيّها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتنّ إلاّ وأنتم مسلمون.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dengan sebenar-benar taqwa, dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama islam.[1]
قال تعالى : يا أيها النّاس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبثّ منهما رجالا كثيرا ونساء واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إنّ الله كان عليكم رقيبا.
Artinya: Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kepada tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan istrinya, dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan namanya kamu saling meminta satu sama lain, dan peliharalah hubungan silaturrahmi, sesungguhnya Allah senantiasa menjaga dan mengawasi kamu.[2]
قال تعالى : يا أيّها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا, يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزا عظيما.
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu, dan mengampuni dosa-dosamu, dan barangsiapa menaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia mendapat kemenangan yang besar.[3]
إنّ أصدق الحديث كتاب الله, وخير الهدي هدي محمد –صلى الله عليه وسلم-, وشرّ الأمور محدثاتها, وكلّ محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة, وكلّ ضلالة في النار.
Amma Ba'du, Sesungguhnya Allah mengutus Rasulnya kepada umat manusia demi menjelaskan yang Allah turunkan kepada mereka berupa agama, mengeluarkan mereka dari kegelapan menuju kepada cahaya, dan membawa mereka kepada jalan yang lurus, serta mewajibkan bagi manusia untuk menaatinya, mencintainya, memuliakannya, dan mengagungkannya.
Allah berfirman:
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah RasulNya dan [taatilah] Ulul Amri [para pemegang kekuasaan].[4]
Dan Rasulullah shallallohu alaihi wasallam bersabda:
لا يؤمن أحدكم حتى أكون أحبّ إليه من والده وولده والناس أجمعين
Artinya: Tidak [sempurna] iman salah seorang diantara kalian, hingga mencintai saya melebihi cintanya kepada bapaknya, anaknya dan seluruh manusia.[5]
Dan sesungguhnya generasi yang telah meniti jalan ini dan layak untuk menjadi qudwah bagi kita adalah generasi para sahabat–radhiyallahu anhum-, mereka adalah orang-orang yang sangat mencintai dan menaati Rasulullah –shallallhu alaihi wasallam-, mereka adalah generasi yang menjadikan sunnah Nabi dan petunjuknya melebihi segalanya di dunia ini, perkataan Nabi bagi mereka adalah yang terdepan, dan mereka mendahulukannya dari seluruh perkataan manusia siapapun juga.
Mereka adalah penjaga dan pembela sunnah Nabi, apabila mereka melihat seseorang menyelisihi sunnah atau mengolok-olok sebagian darinya –disengaja maupun tidak disengaja- maka mereka akan mencelanya, menghardiknya bahkan memboikotnya, mereka tidak akan berbicara dengannya dan enggan memberikan tempat kepadanya, bahkan terkadang mereka memukulnya atau membunuhnya sebagai hukuman [ta'zir] atau karena murtad.
Dengan cara itulah mereka bisa membentengi sunnah dari makar musuh-musuh Islam, mereka adalah penegak pilar nasehat bagi Allah dan Rasulnya serta bagi seluruh kaum muslimin, kemudian datang setelah mereka generasi Tabi'iin, yang meniti metode serupa dalam membentengi sunnah Nabi.
Hingga tibalah kita pada suatu masa, yang manusia telah jauh berlalu dari masa keemasan di atas, telah merebak fenomena degradasi keimanan, telah tersebar maksiyat dan kemunafikan, dan sifat wara' telah terboikot, telah jamak kelancangan manusia untuk berbicara tentang agama [tanpa ilmu], maka manusia pun berbicara berdasarkan hawa nafsunya, dan mengucapkan kalimat yang tidak diridhoi Allah dan Rasulnya.
Dan zaman ini adalah zaman fitnah, kita menyaksikan banyak keanehan dan keajaiban, melihat banyak pelanggaran besar yang tidak boleh didiamkan. Dan diantara keanehan dan pelanggaran besar yang banyak kita saksikan adalah tersebarnya fenomena pelecehan terhadap sunnah, merebaknya sikap mengolok-olok warisan Nabi Muhammad, munculnya kelancangan untuk menyelisihi sunnah dengan akal semata, menandinginya dengan hawa nafsu dan adat-istiadat buatan manusia. Seperti fenomena mengolok-olok jenggot, mencela orang yang tidak isbal, penolakan terhadap hijab bagi wanita muslimah, membenci siwak, dan mencela shalat yang menghadap sutrah [pembatas] dan sunnah-sunnah yang lainnya.
Adalah merupakan hal yang lumrah pada zaman ini, jika telinga kita mendengarkan lisan-lisan dhalim mencela sunnah-sunnah di atas dengan keji, atau bahkan melecehkan dan memperolok-olok orang yang menghiasi dirinya dengan sunnah-sunnah tersebut, dan mereka menghabiskan waktu serta kesempatan untuk menertawai dan mengejek orang yang menghidupkan sunnah-sunnah Nabi, maka sungguh sangat layak perbuatan-perbuatan mereka masuk dalam golongan yang diancam oleh Rasulullah dalam sabdanya:
وإن العبد ليتكلم بكلمة من سخط الله لا يلقي لها بالا يهوي بها في جهنم
Artinya: Dan sesungguhnya seorang hamba mengucapkan sebuah kalimat karena kebenciannya kepada Allah, dan dia meremehkan perkataan tersebut, dan ternyata –pada hari kiamat- kalimat tersebut menjadi penyebab masuknya dia ke dalam Jahanam.[6]
Dan ironisnya, mayoritas umat manusia pada zaman ini lupa atau berpura-pura lupa akan sebuah urusan yang sangat penting, bahwa mengolok-olok agama merupakan perbuatan kufur, baik perbuatan tersebut dilakukan atas dasar gurauan semata, atau dia dilakukan dengan penuh keseriusan, sesungguhnya perbuatan tersebut merupakan hal yang bisa mengeluarkan pelakunya dari lingkup agama islam.
Ibnu Qudamah al-Maqdisiy –rahimahullah- mengatakan: Barang siapa mencela Allah maka dia telah kafir, baik dia melakukannya dengan main-main ataupun serius, demikian pula bagi yang mengolok-olok Allah –subhanahu wa ta'ala- atau mengolok-olok ayat-ayatnya atau mengolok-olok Rasul-Rasulnya ataupun kitab-kitabnya.[7]
Maka, berangkat dari fenomena di atas, kami pun bertekad untuk menulis artikel ini, sebagai saham untuk mewanti-wanti umat dari fenomena yang sangat menyedihkan ini, dan memberikan peringatan kepada umat atas bahayanya, serta menjelaskan sikap seorang muslim sejati kepada pelaku-pelakunya. Dan dalam artikel ini kami akan mengutip ayat-ayat, hadits-hadits dan atsar-atsar [perkataan para ulama] terkait urgensi pengagungan kita terhadap sunnah, dan menjelaskan hukuman yang diterima para pembangkang dan pengolok sunnah ketika didunia, dan akan menjelaskan pula tentang sikap para ulama salaf terhadap pelaku dari kemaksiatan diatas.
Dan dalam artikelnya ini, kami hanya akan menukil nash-nash syar'i [alqur'an dan sunnah][8], dan menghiasinya dengan komentar-komentar dari para ulama salaf, dan hal ini sudah cukup Insya Allah untuk menjelaskan sebuah kebenaran yang terpendam dan menyingkap hidayah yang yang terhalang, terkhusus bagi hati-hati yang terbuka untuk menerima kebaikan dan hidayah, adapun komentar-komentar dari kami pribadi maka sangatlah sedikit dibandingkan nash-nash yang kami sebutkan di atas, dan kami memohon kepada Allah agar artikel ini bisa memberikan manfaat bagi kami dan bagi seluruh kaum muslimin.
Adapun makna kalimat as-sunnah yang banyak menghiasi artikel ini, maka kami katakan:
Yang dimaksud dengan sunnah dalam buku ini bukanlah sinonim dari kalimat mandub dan mustahab[9] yang sangat masyhur dalam istilah fiqh, yaitu antonim dari kalimat makruh. Dan bukan pula yang kami maksud dengan kalimat sunnah adalah antonim dari alqur'an, sebagaimana kalimat yang sering dikatakan: dalil dari kitab [alqur'an] adalah begini, dan dalil dari sunnah [hadits] adalah begini. Namun yang kami maksud dengan sunnah dalam artikel ini adalah metode dan petunjuk, atau petunjuk Nabi –shallahu 'alaihi wasallam- dan jalannya.
Maka kalimat sunnah dalam artikel ini sangat umum, mencakup hal-hal yang hukumnya wajib dan sunnah [mustahab], dan mencakup masalah-masalah aqidah, masalah-masalah ibadah, ataupun masalah mu'amalah dan suluk [tingkah laku].
Ulama salaf mengatakan: yang dimaksud dengan as-sunnah adalah mengamalkan kitab [alqur'an] dan sunnah [hadits], dan berqudwah dengan para salaf yang sholeh, dan mengikuti atsar [perkataan-perkataan para ulama salaf].[10]
Abul Qasim al-Ashbahaniy –rahimahullah- [wafat tahun 535 H] berkata: Para pakar bahasa arab mengatakan yang dimaksud dengan sunnah adalah jalan dan metode hidup. Maka jika ada yang mengatakan fulan berada di atas sunnah atau seorang ahlus sunnah maka maksudnya perbuatan dan perkataannya sesuai dengan wahyu [alqur'an dan sunnah] dan al-atsar, karena seseorang tidak disebut ahlus sunnah sedangkan dia menyelisihi Allah dan Rasulnya.[11]
Ibnu Rajab al-Hambaliy –rahimahullah- [wafat tahun 795 H] berkata: Dan yang dimaksud dengan sunnah adalah jalan yang ditempuh, maka kalimat tersebut mencakup berpegang teguh dengan yang yang diwariskan Rasulullah dan para Khulafa-ur Rasyidin dalam masalah aqidah dan masalah amalan serta perkataan. Inilah makna sunnah yang sempurna, oleh karena itu para ulama salaf yang terdahulu tidaklah menyebut kata sunnah kecuali maknanya mencakup seluruh yang kami jelaskan. Dan makna sunnah yang kami jelaskan tadi juga diriwayatkan dari Hasan al-Bashri, Abu Abdurahman al-Auza'iy, dan Fudhoil bin Iyadh –rahimahumullah-.[12]
Pasal Pertama: Tentang Mengagungkan As-Sunnah
Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman:
وما كان لمؤمن ولا مؤمنة إذا قضى الله ورسوله أمرا أن يكون لهم الخيرة من أمرهم
Artinya: Dan tidak sepatutnya bagi laki-laki mukmin dan wanita mukminah, apabila Allah dan Rasulnya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan –yang lain- tentang urusan mereka.[13]
Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman:
من يطع الرسول فقد أطاع الله
Artinya: Barang siapa yang menaati Rasul maka sesungguhnya dia telah menaati Allah.[14]
Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا
Artinya: Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik bagimu, [yaitu] bagi orang yang mengharapkan –rahmat- Allah dan beriman kepada hari akhir serta banyak menyebut Allah.[15]
Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman:
وإن تطيعوه تهتدوا وما علي الرسول إلاّ البلاغ المبين
Artinya: Dan jika kamu taat kepadanya [Rasul], maka niscaya kamu mendapat petunjuk, dan tidaklah kewajiban Rasul kecuali menyampaikan [tentang agama] dengan jelas.[16]
Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman:
فليحذر الذين يخالفون عن أمره أن تصيبهم فتنة أو يصيبهم عذاب أليم
Artinya: Maka hendaklah orang-orang yang menyelisihi perintah Rasul khawatir akan tertimpa cobaan atau tertimpa adzab yang pedih.[17]
Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman:
ألم يعلموا أنه من يحادد الله ورسوله فأنّ له نار جهنّم خالدا فيها ذلك الخزي العظيم
Artinya: Tidakkah mereka [orang munafik] mengetahui bahwasanya barangsiapa yang menentang Allah dan Rasulnya, maka sesungguhnya nereka jahanamlah tempatnya, dia kekal di dalamnya, itu adalah kehinaan yang besar.[18]
Allah –subhanahu wa ta'ala- berfirman:
يا أيها الذين آمنوا لا ترفعوا أصواتكم فوق صوت النبي ولا تجهروا له بالقول كجهر بعضكم لبعض أن تحبط أعمالكم وأنتم لا تشعرون
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu melebihi suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya suara sebagian kalian jika berbicara dengan sebagian yang lain, supaya tidak terhapus pahala amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.[19]
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah –rahimahullah- [wafat tahun 751 H] berkata mengomentari ayat di atas:"Maka Allah memberikan peringatan kepada kaum mukminin tentang terhapusnya amalan dengan mengeraskan suara melebihi suara Nabi, sebagaimana sebagian kaum muslimin mengeraskan suara kepada sebagian yang lain, dan perbuatan ini bukanlah perbuatan murtad, akan tetapi perbuatan maksiyat yang bisa menghapuskan amalan sedangkan pelakunya tidak menyadarinya, maka hal apa yang akan terjadi, bagi orang yang menolak perkataan Nabi, lalu menyelisihi jalan dan petunjuknya, kemudian mendahulukan perkataan dan petunjuk orang lain daripada jalan dan petunjuk Nabi??!, bukankah orang ini telah dihapuskan Amalannya sedang dia tidak menyadari??!".[20]
Dari Irbadh bin Sariyah –radhiyallahu anhu-, beliau mengatakan:
وعظنا رسول الله موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون, فقلنا: يارسول اله كأنها موعظة مودّع, فأوصنا. فقال رسول الله: أوصيكم بتقوي الله عز وجل, والسمع والطاعة وإن تأمّر عليكم عبد, فإنه من يعش منكم فسيري اختلافا كثيرا, فعليكم بسنتي وسنة خلفاء الراشدين المهديين من بعدي, عضوا عليها بالنواجذ, وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل بدعة ضلالة
Artinya: Rasulullah memberikan kepada kami sebuah wasiat yang menggetarkan hati dan menjadikan mata kami berlinang, maka kami berkata kepada Rasulullah: wahai Rasulullah, nampaknya ini adalah wasiat terakhir, maka berilah wasiat kepada kami. Maka Rasulullah bersabda: saya wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah –azza wa jalla-, dan tetap mendengar dan menaati pemimpin meskipun dia seorang hamba sahaya, sesungguhnya barangsiapa diantara kalian yang masih hidup kelak akan melihat perselisihan yang banyak, maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para Khulafa-ur Rasyidin yang diberi petunjuk, gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan gigi gerahammu, dan jauhilah perkara baru yang dibuat-buat, karena sesungguhnya setiap bid'ah adalah sesat.[21]
Abu Bakar as-Shiddiq –radhiyallahu anhu- [wafat tahun 13 H] berkata:"Sungguh saya mengamalkan sesuatu –meskipun kecil- yang dahulu diamalkan Rasulullah, dan sungguh saya merasa khawatir apabila saya meningggalkan perintahnya, saya menjadi tersesat".
Ibnul Batthah –rahimahullah- mengomentari perkataan Abu Bakar di atas, beliau mengatakan:"Saksikanlah wahai saudaraku perkataan Abu Bakar as-Shiddiq, sungguh beliau sangat mengkhawatirkan atas dirinya kesesatan, jika menyelisihi sedikit dari perintah Rasulullah, maka apa gerangan yang terjadi bagi sebuah zaman yang umatnya dengan lancang mengolok-olok Rasulullah dan perintah-perintahnya, bahkan merasa bangga dengan melanggarnya dan melecehkan sunnahnya??!!, kami memohon perlindungan dari Allah dari kesesatan, dan memohon [pula] keselamatan dari amalan buruk".[22]
Umar bin Abdil Aziz –rahimahullah- [wafat tahun 101 H] mengatakan:"Tidak ada pendapat bagi seseorang, jika telah ada sunnah dari Rasulullah –shallallahu alaihi wasalam-".[23]
Abu Qilabah –rahimahullah- [wafat tahun 104 H] berkata:"Jika kamu berbicara kepada seseorang tentang sunnah, kemudian dia menjawab: jauhkan kami dari hal ini [sunnah], dan sampaikan kepada kami kitab Allah [al-Qur'an] saja, maka ketahuilah bahwa dia adalah orang sesat".[24]
Imam ad-Dzahabiy –rahimahullah- [wafat tahun 748 H] mengomentari perkataan di atas, beliau mengatakan:"Dan jika kamu menjumpai ahlul kalam dari kalangan ahlul bid'ah mengatakan: jauhkanlah kami dari al-qur'an dan hadits-hadits ahad, dan berilah bagi kami dalil dari akal [logika], maka ketahuilah bahwa dia adalah Abu Jahal. Dan jika kamu melihat seorang ahli tasawuf mengatakan: jauhkanlah kami dari wahyu [al-qur'an dan sunnah] dan dalil dari logika, dan berikan kepada kami dalil berupa perasaan-perasaan hati, maka ketahuilah bahwa dia adalah iblis yang menyamar menjadi manusia atau iblis yang merasuki manusia, jika kamu merasa takut untuk berdekatan dengannya maka larilah dan jika kamu memiliki keberanian maka gulatlah dia, lalu duduklah di atas dadanya dan bacakanlah ayat kursi, lalu cekiklah lehernya".[25]
Imam Syafi'i –rahimahullah- [wafat tahun 204 H] meriwayatkan dengan sanadnya: "Bahwa Rasulullah bersabda ketika Fathul Makkah: Barangsiapa yang membunuh seseorang, maka baginya ada dua pilihan, jika dia berkenan maka boleh baginya membayar diyat [denda], dan jika dia berkenan maka boleh baginya untuk memilih qishos. Abu Hanifah berkata: Maka saya bertanya kepada Ibnu Abi Dzi'b: Apakah anda berpegang dengan hadits ini wahai Abu Harits??!!, tiba-tiba beliau memukul dadaku, dan berteriak-teriak dihadapanku bahkan beliau mencelaku. Lalu beliau berkata kepadaku: saya sampaikan hadits dari Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- lalu kamu mengatakan kepadaku apakah kamu berpegang [berpendapat] dengan hadits tersebut???!, Ya, saya berpegang [berpendapat] dengannya, dan hal ini merupakan kewajibanku dan kewajiban bagi yang mendengarnya [hadits], sesungguhnya Allah memilih Muhammad diantara semua manusia, dan kemudian Allah memberikan hidayah kepada manusia dengan Muhammad, dan Allah memilih bagi manusia apa yang Allah pilih untuk Muhammad lewat lisannya, maka kewajiban manusia adalah mengikutinya dengan penuh ketaatan dan kehinaan, tidak ada pilihan lain bagi seorang muslim kecuali sikap itu. Abu Hanifah mengatakan: Dan Ibnu Abi Dzi'b tidak berhenti berbicara, sampai sayapun berangan-angan supaya beliau berhenti berbicara".[26]
Imam Syafi'i –rahimahullah- [wafat tahun 204 H] berkata:"Telah tegak ijma' kaum muslimin bahwa barang siapa yang telah jelas baginya sunnah Nabi, maka tidak boleh baginya untuk meninggalkan sunnah tersebut karena [mengikuti, pent.] perkataan salah seorang manusia [ulama]".[27]
Abdullah bin Zubair al-Humaidi –rahimahullah- [wafat tahun 219 H] mengatakan: "Suatu hari Imam Syafi'i meriwayatkan satu hadits, kemudian aku katakan kepadanya: apakah kamu berpegang [berpendapat] dengan hadits tersebut??, maka beliau mengatakan: Apakah kamu pernah melihat saya keluar dari gereja??!!, apakah kamu pernah melihat saya keluar dari Zunnar [rumah ibadah orang yahudi]??!! Sehingga ketika saya mendengar hadits Nabi kemudian saya menolaknya??!!.[28]
Suatu saat Imam Syafi'i –rahimahullah- dimintai fatwa tentang satu masalah, maka beliaupun menjawab: Telah diriwayatkan beberapa hadits dari Rasulullah –shallallahu alaihi wasallam- tentang masalah tersebut, dan tiba-tiba sang peminta fatwa mengatakan: Wahai Abu Abdillah, apakah anda berpegang [berpendapat] dengan hadits-hadits tersebut??!!, maka tubuh Imam Syafi'i-pun bergetar dan tergoncang mendengar ucapan orang itu, lalu beliaupun mengatakan: Wahai fulan, bumi mana tempat saya berpijak, dan langit mana tempat saya bernaung, jika saya meriwayatkan hadits dari Rasulullah lalu saya tidak berpendapat dengannya??!!, Ya, tentu saya akan mendengarkannya dan menaatinya".[29]
Imam Ahmad bin Hanbal –rahimahullah- [wafat tahun 241 H] mengatakan:"Barangsiapa yang menolak hadits Nabi –shallallahu alaihi wasallam- maka dia berada ditepi jurang kebinasaan".[30]
Hasan bin Ali bin khalaf al-Barbahariy –rahimahullah- [wafat tahun 329 H] mengatakan:"Jika kamu mendengar seseorang mencela atau menghina atsar [sunnah Nabi], maka curigailah [bahwa dia] merusak islam, dan janganlah ragu untuk menganggapnya sebagai ahlul ahwa' dan ahlul bid'ah".[31]
Abul Qasim al-Ashbahani –rahimahullah- [wafat tahun 535 H] mengatakan:"Para ahlus sunnah dari kalangan ulama salaf berkata: Jika seseorang mencela atsar [sunnah Nabi], maka kita harus mencurigainya [bahwa dia] merusak islam".[32]
Muhammad bin Yahya ad-Dzuhliy –rahimahullah- [wafat tahun 258 H] :"Saya mendengar Yahya bin Yahya [yaitu Abu Zakariya at-Tamiimiy an-Naisaburiy, wafat tahun 226 H] berkata: membela sunnah lebih utama daripada berjihad di jalan Allah. Maka Muhammad bin Yahya berkata kepada Yahya bin Yahya: seseorang mengorbankan hartanya dan menjadikan dirinya capek [dengan berusaha] serta berjihad, Apakah [membela sunnah] lebih utama daripada semua amalan di atas??, maka beliau menjawab: Ya". [33]
Abu Ubaid al-Qasim bin Sallam –rahimahullah- [wafat tahun 224 H] mengatakan:"Seorang pengikut sunnah sejati bagaikan orang yang menggenggam bara api, dan dia bagiku –pada zaman ini- lebih utama daripada menghunus pedang di jalan Allah".[34]
Abdullah bin Zubair al-Humaidi –rahimahullah- [wafat tahun 219 H] mengatakan:"Demi Allah, seandainya saya memerangi orang yang menolak sunnah Nabi –shallallahu alaihi wasallam-, maka hal itu lebih saya cintai daripada memerangi musuh dari turki".[35]
Imam Malik bin Anas –rahimahullah- [wafat tahun 179 H] berkata:"Sunnah ibarat bahtera Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya maka dia akan selamat, dan barangsiapa yang meninggalkanya maka dia akan tenggelam [binasa]".[36]
Bersambung insya Allah.
[1] . Surat Ali Imran 102
[2] . Surat an-Nisa 1
[3] . Surat al-Ahzab 70-71
[4] . Surat an-Nisa 59
[5] . Diriwayatkan Imam al-Bukhari No Hadits: 15, dan Imam Muslim No Hadits: 70
[6] . Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, No Hadits: 6478
[7] .al-Mughniy 12/298
[8]. Metode penulisan yang digunakan oleh penulis dalam artikel ini adalah salah satu metode penulisan para ulama salaf dahulu, yaitu dengan menyebutkan bab kemudian menyebutkan dalil-dalil dari al-qur'an dan hadits serta atsar para ulama salaf tanpa ada penjelasan dan komentar panjang lebar dari penulis, mungkin sebagian orang akan merasa bosan dengan metode ini, namun metode ini akan membina kita untuk lebih dekat dengan al-qur'an dan hadits nabi serta perkataan para ulama kita. Adalah merupakan salah satu tanda hati yang sakit ketika kita tidak mampu mengambil manfaat dari untaian firman Allah dan sabda Rasulullah. Allahu Musta'an.
[9] .Mustahab adalah salah satu Hukum Taklif, maknanya sesuatu yang jika dilakukan akan mendapatkan pahala, dan apabila ditinggalkan tidak mendapatkan dosa, pent.
[10] . Lihat al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah 2/428
[11] . Lihat al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah 2/384
[12] . Jami'ul Ulum wal Hikam hal. 28
[13] . Surat al-Ahzab 36
[14] . Surat an-Nisa' 80
[15] . Surat al-Ahzab 21
[16] . Surat an-Nur 54
[17] . Surat an-Nur 63
[18] . Surat at-Taubah 63
[19] . Surat al-Hujurat 2
[20] . al-Wabil As-Shoyyib hal. 24
[21] . Diriwayatkan Abu Dawud No Hadits: 4607, at-Tirmidzi No Hadits: 2676, Ibnu Majah No Hadits: 44
[22] . al-Ibanah 1/246
[23] . I'lamul Muwaqqi'in 2/282
[24] . Thabaqat Ibnu Saad 7/184
[25] . Siyar A'lamun Nubala 4/472
[26] . ar-Risalah karya Imam Syafi'i hal. 450, dan lihat pula al-Hujjah Fi Bayanil Mahajjah 2/302
[27] . I'lamul Muwaqqi'in 2/282
[28] . Hilyatul Auliya' 9/106, dan Siyar A'lamun Nubala' 10/34
[29] . Lihat al-Faqih wal Mutafaqqih 1/150, Shifatus Shofwah 2/256
[30] . Lihat Thabaqat al-Hanabilah 2/15, dan al-Ibanah 1/260
[31] . Lihat Syarhus Sunnah hal. 51
[32] . Lihat al-hujjah Fi bayanil Mahajjah 2/428
[33] . Lihat Dzammul Kalam Wa Ahluhu 4/253-254, dan Majmu-ul Fatawa 4/13.
[34] . Lihat Tarikhul Baghdad 12/410, dan Thabaqat al-Hanabilah 1/262
[35] . Siyar a'lamun Nubala 10/619
[36] . Lihat Dzammul Kalam wa Ahluhu 5/81
(www.markazassunnah.com)
Senin, 25 April 2011
Indonesia Ladang Basah Bintang Porno Asing
Indonesia kini jadi ladang basah artis porno asing. Banyak bintang esek-esek yang kini mulai berbondong-bondong main film di negara yang mayoritas muslim ini. Booming artis porno itu tampaknya diilhami suksenya bintang porno asal Jepang, Maria Ozawa dan Rin Sakuragi. Dua bintang porno itu membintangi film garapan Maxima Pictures Menculik Miyabi dan Suster Keramas.
Sukses film tersebut kemudian membuat rumah produksi lain tergiur. Seperti yang dilakukan K2K Production yang memboyong bintang porno Hollywood, Terra Patrick di film Rintihan Kuntilanak Perawan. Hal sama dilakukan produser Oddy Mulya yang akan menghadirkan bintang porno Jepang, Sora Aoi di Film Suster Keramas 2.
Ketika dua bintang porno –Miyabi dan Rin Sakuragi- asal Jepang itu datang, sebenarnya dapat banyak kecaman dari ormas Islam. Kecaman paling keras datang dari FPI yang berkali-kali mendemo dan menuntut agar film itu digagalkan. Tapi, tampkanya kecaman itu dianggap angin lalu.
Suksesnya film horor itu membuat angin segar bagi produser lain, terutama bintang porno asing. Bagi mereka, secara tidak langsung, Indonesia telah “welcome” dengan bintang porno. Karena itu, tak heran jika mereka mempromosikan “asiknya” jadi bintang film di Indonesia. Apalagi, dengan upah menggiurkan. Milyaran rupiah!
Meski kebanyakan membintangi film horor. Tetapi, tetap saja menyajikan adegan pornoaksi. Sehingga film horor yang tadinya menakutkan itu berubah jadi tidak menakutkan. Dan anehnya, film-film tersebut justru diluluskan oleh Lembaga Sensor Film. Padahal, di situ juga ada utusan dari Majelis Ulama Indonesia.
Lepas dari itu, selain filmnya yang bermasalah tapi juga image-nya: bintang porno asing. Bayangkan, Indonesia yang mayoritas muslim dan berkebudayaan Timur ini menjadi ladang basah bintang esek-esek. Hal itu tidak saja merusak citra Indonesia, tapi juga merusak nilai-nilai yang selama ini tertanam.
Pasalnya, image sangat penting bagi identitas suatu negeri. Image bisa menunjukkan wujud suatu negara yang sebenarnya. Karena itu, masuknya bintang porno itu telah merusak citra Indonesia. Seperti kata pepatah: nila setitik, rusak susu sebelanga.
Parahnya lagi, citra itu akan merubah sudut pandang masyarakat. Masyarakat akan menjadi permisif dan mudah menerima nilai-nilai asing yang bertentangn dengan nilai lokal yang Islami. Karena itu, tidak mustahil, lambat laun, masyarakat Indonesia akan menganggap pornografi hal biasa.
Maraknya bintang porno asing sebenarnya harus menjadi keresehan dan kekhawatiran seluruh ormas Islam dan umat Islam. Sayangnya, tidak sedikit ormas Islam yang cuek akan hal ini. Seolah-olah, mereka menganggap jika hal itu bukan urusan mereka. Padahal, hal itu seperti gunung es yang bisa meledak kapan saja.
Lebih-lebih pemerintah. Pemerintah hingga kini tak melakukan tindakan apapun. Padahal, efek dari pornografi bisa berbahaya, bahkan seperti terorisme. Hanya saja bentukny berbeda. Jika terorisme berbentuk bom dan biasanya korbanya nyawa, sedangkan terorisme bentuk pornoaksi ini jangka panjang dan menuai banyak korban.
Dalam kajian medis, sering diungkap efek dari pornografi bagi masyarakat, terutama anak-anak. Pornografi bisa merusak otak anak dan otomatis merusak masa depan mereka. Terorisasi moral ini sangat berbahaya.
Sayangnya, pemerintah tebang pilih dalam hal ini. Jika terorisme diatasi dengan sangat serius hingga ditetapkan siaga satu, bintang porno asing dan pornografi seolah dibiarkan saja. Padahal, jika hal ini “meledak,” korbannya tidak satu dua orang, bisa banyak orang bahkan seluruh masyarakat Indonesia. Jadi, waspadalah!
(Muharrikul Ummah /www.hidayatullah.com)
Sukses film tersebut kemudian membuat rumah produksi lain tergiur. Seperti yang dilakukan K2K Production yang memboyong bintang porno Hollywood, Terra Patrick di film Rintihan Kuntilanak Perawan. Hal sama dilakukan produser Oddy Mulya yang akan menghadirkan bintang porno Jepang, Sora Aoi di Film Suster Keramas 2.
Ketika dua bintang porno –Miyabi dan Rin Sakuragi- asal Jepang itu datang, sebenarnya dapat banyak kecaman dari ormas Islam. Kecaman paling keras datang dari FPI yang berkali-kali mendemo dan menuntut agar film itu digagalkan. Tapi, tampkanya kecaman itu dianggap angin lalu.
Suksesnya film horor itu membuat angin segar bagi produser lain, terutama bintang porno asing. Bagi mereka, secara tidak langsung, Indonesia telah “welcome” dengan bintang porno. Karena itu, tak heran jika mereka mempromosikan “asiknya” jadi bintang film di Indonesia. Apalagi, dengan upah menggiurkan. Milyaran rupiah!
Meski kebanyakan membintangi film horor. Tetapi, tetap saja menyajikan adegan pornoaksi. Sehingga film horor yang tadinya menakutkan itu berubah jadi tidak menakutkan. Dan anehnya, film-film tersebut justru diluluskan oleh Lembaga Sensor Film. Padahal, di situ juga ada utusan dari Majelis Ulama Indonesia.
Lepas dari itu, selain filmnya yang bermasalah tapi juga image-nya: bintang porno asing. Bayangkan, Indonesia yang mayoritas muslim dan berkebudayaan Timur ini menjadi ladang basah bintang esek-esek. Hal itu tidak saja merusak citra Indonesia, tapi juga merusak nilai-nilai yang selama ini tertanam.
Pasalnya, image sangat penting bagi identitas suatu negeri. Image bisa menunjukkan wujud suatu negara yang sebenarnya. Karena itu, masuknya bintang porno itu telah merusak citra Indonesia. Seperti kata pepatah: nila setitik, rusak susu sebelanga.
Parahnya lagi, citra itu akan merubah sudut pandang masyarakat. Masyarakat akan menjadi permisif dan mudah menerima nilai-nilai asing yang bertentangn dengan nilai lokal yang Islami. Karena itu, tidak mustahil, lambat laun, masyarakat Indonesia akan menganggap pornografi hal biasa.
Maraknya bintang porno asing sebenarnya harus menjadi keresehan dan kekhawatiran seluruh ormas Islam dan umat Islam. Sayangnya, tidak sedikit ormas Islam yang cuek akan hal ini. Seolah-olah, mereka menganggap jika hal itu bukan urusan mereka. Padahal, hal itu seperti gunung es yang bisa meledak kapan saja.
Lebih-lebih pemerintah. Pemerintah hingga kini tak melakukan tindakan apapun. Padahal, efek dari pornografi bisa berbahaya, bahkan seperti terorisme. Hanya saja bentukny berbeda. Jika terorisme berbentuk bom dan biasanya korbanya nyawa, sedangkan terorisme bentuk pornoaksi ini jangka panjang dan menuai banyak korban.
Dalam kajian medis, sering diungkap efek dari pornografi bagi masyarakat, terutama anak-anak. Pornografi bisa merusak otak anak dan otomatis merusak masa depan mereka. Terorisasi moral ini sangat berbahaya.
Sayangnya, pemerintah tebang pilih dalam hal ini. Jika terorisme diatasi dengan sangat serius hingga ditetapkan siaga satu, bintang porno asing dan pornografi seolah dibiarkan saja. Padahal, jika hal ini “meledak,” korbannya tidak satu dua orang, bisa banyak orang bahkan seluruh masyarakat Indonesia. Jadi, waspadalah!
(Muharrikul Ummah /www.hidayatullah.com)
Minggu, 24 April 2011
Hidup Tanpa Beban
Mustahil ada yang tak ingin bahagia di dunia ini. Karena demikianlah adanya. Seluruh aktifitas manusia itu, dalam corak apapun, intinya adalah mengais kebahagiaan hidup. Kendati kebahagiaan itu sifatnya relatif. Namun satu hal yang tak seorang pun pungkir...i, bahwa ia letaknya dalam hati. Ketenangan, kedamaian, kelapangan jiwa, atau minimal apa yang diistilahkan orang, “hidup tanpa beban”. Ah, aku selalu mengkhayalkan indahnya hidup tanpa beban itu. Tapi, emang ada ya, orang yang hidup di kolong langit ini tanpa beban? Kalau dipikir-pikir, rasanya tidak ada. Yang ada adalah, seorang yang hidup dan bisa menikmati beban hidup itu.
Kayaknya, kisah Ali bin al-Makmun al-Abbasi, seorang penguasa anak Khalifah al-Makmun dapat memberi inspirasi bagi kita. Beliau seorang pangeran yang hidup dalam glamour istana dan hamparan kenikmatan. Semua yang diinginkan sekejap terwujud. Memandangnya sekilas, mungkin orang-orang merasa iri dan berandai bisa menjadi dirinya. Namun tak ada yang mengetahui isi hati, melainkan Allah…Suatu hari, ia melongok ke arah luar balkon istana. Tepatnya di keramaian pasar. Ia tertegun memperhatikan seorang pekerja kasar yang begitu ulet memeras keringat sepanjang hari. Menjelang siang, orang itu berwudhu di tepi sungai Tigris, shalat dua rakaat, kemudian beranjak menuju masjid. Saat menjelang magrib, orang itu pun bergegas pulang ke rumahnya. Dan itu setiap hari ia lakukan. Lantaran penasaran, suatu ketika sang pangeran memanggilnya dan bertanya tentang kondisi sebenarnya. Orang itu menjawab, bahwa ia memilki seorang istri, dua saudari perempuan buta dan seorang ibu tua renta. Ia menambahkan, bahwa dirinya tidak memiliki sesuap makanan atau penghasilan melainkan dari apa yang ia dapatkan dari kerja kasar di pasar. Uniknya, orang itu dan seluruh anggota keluarganya, setiap hari berpuasa, dan berbuka kala magrib menjelang dengan apa yang diperoleh hari itu. Sang pangeran bertanya, “Apakah engkau pernah mengeluhkan apa yang engkau alami ini?, sungguh, aku menyaksikan kehidupanmu begitu miris”. “Tidak, Alhamdulillah, sebab Allah-lah yang selalu mencukupi kami”, jawabnya enteng. “Ketahuilah, aku adalah anak Khalifah. Maukah anda tinggal bersamaku di dalam istana, makan dan minum sepuasanya, tak ada kesusahan, gundah gulana dan kesedihan…?!, pancing sang pangeran. Laki-laki itu tersenyum, “Wahai anak khalifah, tak ada kesusahan bagi yang tidak berbuat dosa, tak ada gundah bagi orang yang tidak bermaksiat, dan tak ada kesedihan bagi yang tidak berlaku salah…hanya saja, orang yang berpagi-pagi dalam maksiat dan dosa, merekalah pewaris kesusahan, sedih dan gundah…!”. Ali bin Makmun terhenyak takjub. Lisannya tak kuasa mengeja satu kalimat pun. Seakan tiap bait kata-kata orang itu berlomba menampar wajahnya. Hatinya berdesir. Lalu tanpa berkata-kata, ia segera balik ke istana dengan air muka yang lain. Maka saat itu juga pangeran Ali meninggalkan istana, jabatan, dan segala glamour dunia, pergi menuruti langkah kakinya. Tak ada yang mengetahui di mana ia berada, bahkan oleh sang Khalifah al-Makmun, ayahnya sekalipun. Hingga ia ditemukan beberapa tahun setelah itu, di negeri yang jauh. Ia mati sebagai seorang tukang kayu di daerah Khurasan. Anehnya, ia ternyata menemukan kebahagiaan itu dalam pekerjaannya sebagai tukang kayu, dan tidak saat ia makan, minum dan tidur dalam istana megahnya.
Oh ya, aku juga ingin berbagi pengalaman dalam hal ini. Kejadiaannya di Jakarta sekitar tahun 2008, sebulan sebelum kami pindah ke kota Makassar. Saat itu, aku kedatangan seorang pasien, wanita paruh baya. Dari penampilannya, nampak bahwa ia seorang wanita berada. Dan terkaanku ternyata tak meleset. Kawan ibu itu berbisik padaku, bahwa dia dan suaminya punya jabatan lumayan tinggi di kantor Bea Cukai. Katanya lagi, rumahnya di daerah (…) seperti istana. Megah dan mewah. Ibu paruh baya itu lalu menumpahkan segala keluh kesah yang dialami beberapa tahun terakhir. Beban pikiran luar biasa, rasa takut dan khawatir berlebihan, selera makan yang hampir pupus, serta kenikmatan tidur yang nyaris sirna. Tambahnya lagi, bahwa akhir-akhir ini ia sangat terbebani oleh kondisi putrinya yang hingga berumur kepala tiga, belum juga dapat jodoh…!! Efeknya, semua itu berpengaruh pada lambung dan detak jantungnya, “pak, jangan-jangan aku terserang penyakit jantung ya…?!, imbuhnya. Nah, kebetulan di depan rumah sedang ada perbaikan jalan. Aku keluar sebentar lalu mengajak ibu itu mengintip sejenak. “Coba ibu perhatikan tukang yang sementara terlelap di bawah pohon itu…!, lihatlah bu, begitu tenang, hingga dalam kondisi demikian masih sempat juga terlelap tidur...!. Perhatikan pula kawanan tukang-tukang lainnya yang sedang menyantap nasi bungkus yang mungkin saja lauknya hanya sepotong tempe goreng…!, begitu lahap. Subhanallah, mereka pun masih sempat berebut canda dan tawa”. Alhamdulillah, ibu itu pun paham apa yang aku maksud. Setelah menjelaskan hakikat keluhannya itu, senyumnya mulai terkulum. Dan dalam beberapa pertemuan saja ia mengaku, kesehatannya mengalami kemajuan luar biasa… Intinya, bahwa mereka itu hidup apa adanya. Orientasi mereka pun tak lebih dari apa yang bakal diperoleh hari itu untuk kemudian dinikmati bersama anak dan istrinya. Selanjutnya mereka pasrahkan, sembari tetap berusaha mencari. Aku tidak mengatakan mereka tidak punya beban hidup. Sama sekali tidak. Bahkan boleh jadi “beban” hidup mereka jauh lebih berat ketimbang kita. Akan tetapi, beban hidup itu tidak menguasai diri mereka hingga merampas kebahagiaan hakiki dalam jiwa. Hmm, rasanya kita patut berkaca pada mereka. Betapa Allah telah memberi kita begitu banyak nikmat. Harta, anak-anak, badan sehat, rumah yang nyaman dan sebagainya. Anehnya, mengapa jiwa kita belum juga merasakan kebahagiaan itu…?! Ah, boleh jadi lantaran kita masih beranggap bahwa bahagia itu ada pada limpahan harta benda. Atau barangkali, angan-angan kita terhadap dunia ini masih terlalu panjang menjuntai. Padahal, hakekat kebahagiaan terletak pada iman, yakin akan takdir serta menjalani hidup ini apa adanya…yah, apa adanya.
Makassar, 25 April 2011
Oleh: Rappung Samuddin/http://www.facebook.com/notes/rappung-samuddin/hidup-tanpa-beban/10150176461828501
Kayaknya, kisah Ali bin al-Makmun al-Abbasi, seorang penguasa anak Khalifah al-Makmun dapat memberi inspirasi bagi kita. Beliau seorang pangeran yang hidup dalam glamour istana dan hamparan kenikmatan. Semua yang diinginkan sekejap terwujud. Memandangnya sekilas, mungkin orang-orang merasa iri dan berandai bisa menjadi dirinya. Namun tak ada yang mengetahui isi hati, melainkan Allah…Suatu hari, ia melongok ke arah luar balkon istana. Tepatnya di keramaian pasar. Ia tertegun memperhatikan seorang pekerja kasar yang begitu ulet memeras keringat sepanjang hari. Menjelang siang, orang itu berwudhu di tepi sungai Tigris, shalat dua rakaat, kemudian beranjak menuju masjid. Saat menjelang magrib, orang itu pun bergegas pulang ke rumahnya. Dan itu setiap hari ia lakukan. Lantaran penasaran, suatu ketika sang pangeran memanggilnya dan bertanya tentang kondisi sebenarnya. Orang itu menjawab, bahwa ia memilki seorang istri, dua saudari perempuan buta dan seorang ibu tua renta. Ia menambahkan, bahwa dirinya tidak memiliki sesuap makanan atau penghasilan melainkan dari apa yang ia dapatkan dari kerja kasar di pasar. Uniknya, orang itu dan seluruh anggota keluarganya, setiap hari berpuasa, dan berbuka kala magrib menjelang dengan apa yang diperoleh hari itu. Sang pangeran bertanya, “Apakah engkau pernah mengeluhkan apa yang engkau alami ini?, sungguh, aku menyaksikan kehidupanmu begitu miris”. “Tidak, Alhamdulillah, sebab Allah-lah yang selalu mencukupi kami”, jawabnya enteng. “Ketahuilah, aku adalah anak Khalifah. Maukah anda tinggal bersamaku di dalam istana, makan dan minum sepuasanya, tak ada kesusahan, gundah gulana dan kesedihan…?!, pancing sang pangeran. Laki-laki itu tersenyum, “Wahai anak khalifah, tak ada kesusahan bagi yang tidak berbuat dosa, tak ada gundah bagi orang yang tidak bermaksiat, dan tak ada kesedihan bagi yang tidak berlaku salah…hanya saja, orang yang berpagi-pagi dalam maksiat dan dosa, merekalah pewaris kesusahan, sedih dan gundah…!”. Ali bin Makmun terhenyak takjub. Lisannya tak kuasa mengeja satu kalimat pun. Seakan tiap bait kata-kata orang itu berlomba menampar wajahnya. Hatinya berdesir. Lalu tanpa berkata-kata, ia segera balik ke istana dengan air muka yang lain. Maka saat itu juga pangeran Ali meninggalkan istana, jabatan, dan segala glamour dunia, pergi menuruti langkah kakinya. Tak ada yang mengetahui di mana ia berada, bahkan oleh sang Khalifah al-Makmun, ayahnya sekalipun. Hingga ia ditemukan beberapa tahun setelah itu, di negeri yang jauh. Ia mati sebagai seorang tukang kayu di daerah Khurasan. Anehnya, ia ternyata menemukan kebahagiaan itu dalam pekerjaannya sebagai tukang kayu, dan tidak saat ia makan, minum dan tidur dalam istana megahnya.
Oh ya, aku juga ingin berbagi pengalaman dalam hal ini. Kejadiaannya di Jakarta sekitar tahun 2008, sebulan sebelum kami pindah ke kota Makassar. Saat itu, aku kedatangan seorang pasien, wanita paruh baya. Dari penampilannya, nampak bahwa ia seorang wanita berada. Dan terkaanku ternyata tak meleset. Kawan ibu itu berbisik padaku, bahwa dia dan suaminya punya jabatan lumayan tinggi di kantor Bea Cukai. Katanya lagi, rumahnya di daerah (…) seperti istana. Megah dan mewah. Ibu paruh baya itu lalu menumpahkan segala keluh kesah yang dialami beberapa tahun terakhir. Beban pikiran luar biasa, rasa takut dan khawatir berlebihan, selera makan yang hampir pupus, serta kenikmatan tidur yang nyaris sirna. Tambahnya lagi, bahwa akhir-akhir ini ia sangat terbebani oleh kondisi putrinya yang hingga berumur kepala tiga, belum juga dapat jodoh…!! Efeknya, semua itu berpengaruh pada lambung dan detak jantungnya, “pak, jangan-jangan aku terserang penyakit jantung ya…?!, imbuhnya. Nah, kebetulan di depan rumah sedang ada perbaikan jalan. Aku keluar sebentar lalu mengajak ibu itu mengintip sejenak. “Coba ibu perhatikan tukang yang sementara terlelap di bawah pohon itu…!, lihatlah bu, begitu tenang, hingga dalam kondisi demikian masih sempat juga terlelap tidur...!. Perhatikan pula kawanan tukang-tukang lainnya yang sedang menyantap nasi bungkus yang mungkin saja lauknya hanya sepotong tempe goreng…!, begitu lahap. Subhanallah, mereka pun masih sempat berebut canda dan tawa”. Alhamdulillah, ibu itu pun paham apa yang aku maksud. Setelah menjelaskan hakikat keluhannya itu, senyumnya mulai terkulum. Dan dalam beberapa pertemuan saja ia mengaku, kesehatannya mengalami kemajuan luar biasa… Intinya, bahwa mereka itu hidup apa adanya. Orientasi mereka pun tak lebih dari apa yang bakal diperoleh hari itu untuk kemudian dinikmati bersama anak dan istrinya. Selanjutnya mereka pasrahkan, sembari tetap berusaha mencari. Aku tidak mengatakan mereka tidak punya beban hidup. Sama sekali tidak. Bahkan boleh jadi “beban” hidup mereka jauh lebih berat ketimbang kita. Akan tetapi, beban hidup itu tidak menguasai diri mereka hingga merampas kebahagiaan hakiki dalam jiwa. Hmm, rasanya kita patut berkaca pada mereka. Betapa Allah telah memberi kita begitu banyak nikmat. Harta, anak-anak, badan sehat, rumah yang nyaman dan sebagainya. Anehnya, mengapa jiwa kita belum juga merasakan kebahagiaan itu…?! Ah, boleh jadi lantaran kita masih beranggap bahwa bahagia itu ada pada limpahan harta benda. Atau barangkali, angan-angan kita terhadap dunia ini masih terlalu panjang menjuntai. Padahal, hakekat kebahagiaan terletak pada iman, yakin akan takdir serta menjalani hidup ini apa adanya…yah, apa adanya.
Makassar, 25 April 2011
Oleh: Rappung Samuddin/http://www.facebook.com/notes/rappung-samuddin/hidup-tanpa-beban/10150176461828501
Belajar Untuk Tidak Butuh
Pada awalnya sarana kehidupan dicipta untuk memudahkan kehidupan manusia di muka bumi ini.
Akan tetapi seiring perjalanan waktu terjadi pergeseran yang sangat berarti. Karena keserakahan, sarana hidup itu tidak lagi sekedar mempermudah hidup tapi semua itu dirancang agar manusia selalu ketagihan dan merasa butuh. Dulu, pekerjaan seseorang dinilai dari cucuran keringat yang ia keluarkan. Tapi saat ini yang menjadi ukuran adalah sebanyak apa satuan-satuan benda yang ia hasilkan demi memuaskan selera menumpuk dan mengoleksi
Islam datang menyikapi sarana kehidupan itu dengan cara yang sangat proporsional. Dalam skala individu, selain sebagai sarana untuk memudahkan hidup ia juga berfungsi sebagai perhiasan dan Allah mewanti-wanti kita bahwa apa yang ada di sisiNya jauh lebih baik. Dalam skala jama’ah atau negara berfungsi sebagai distibutor kepada seluruh rakyat (khudz min amwalihim shadaqah) sehingga semua warga negara bisa mencicipi rezki dari Allah tersebut. Lebih dari itu, dalam skala negara pula, sarana hidup itu sebagai alat negara untuk menggertak dan menundukkan orang kafir (wa a’idduu lahum mas tatha’tum min quwwah). Sebab, pada asalnya mereka jika eksis dan berkuasa hanya akan membuat kerusakan di muka bumi.
Salafus Shalih adalah kumpulan manusia yang paling bijak dalm berinteraksi dengan sarana hidup. Sarana hidup, menurut mereka, tidak menambah izzah dan sama sekali tidak ada pengaruhnya pada kemenangan dan kekalahan tidak ada gunanya sama sekali tidak ada gunanya. Lihatlah Umar bin Khatthab menampik mentah-mentah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda gagah ketika beliau datang memenuhi undangan pembesar pendeta Nasrani di Paletina. Kereta ini digunakan oleh gubernurnya untuk menjemput beliau di batas kota yang datang dari Madinah dengan keledai ringkih. Beliau berkata kepada Abu Ubaidah, Gubernurnya, Nahnu qaumun a’azzanallahu bil Islam, lau ibtaghainal izzata siwal Islam la-azzallanallahu (kita adalah kaum yang yang dimuliakan Allah dengan Islam, andai kita mencari kemuliaan selain Islam pasti Allah menghinakan kita).
Bagaimana dengan Anda para du’at dan mujahid?. Anda adalah dua kelompok orang yang di pundaknyalah amanah penegakan dinullah ini dibebankan. Anda semua adalah shahibul himmah (pemilik cita-cita). Pada dasarnya Andalah yang harus paling merasa tidak butuh dengan semua dunia, jika itu tidak menambah keterhormatan Anda di sisi Allah. Anda harus selalu berada di ketinggian ufuk, karena dari sanalah Anda melihat dengan jelas tabiat kehidupan. Agar Anda selalu berada dalam kondisi sadar bahwa apa yang dikejar oleh semua manusia nilainya tidak lebih dari sehelai sayap nyamuk. Karena dengan kesadaran itulah anda selalu enjoy dalam hidup ini, betapapun kondisi Anda.
Ketika pintu dunia sudah terbuka lebar sehingga darinya mengalir harta benda yang melimpah ruah, Umar bin Khatthab bertanya kepada Abu Ubaidah ketika sang khalifah berkunjung ke rumahnya, rumah yang tidak memiliki satupun prabot, kecuali pedang, tameng, dan pelana kuda: ”Kenapa Anda tidak mengambil (harta benda)seperti yang dilakukan orang lain…?”. Maka Abu ubaidah menjawab: ”keadaan seperti inilah menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat…!”.
Bagaimana dengan Anda?.Sumber : wahdah.or.id
Akan tetapi seiring perjalanan waktu terjadi pergeseran yang sangat berarti. Karena keserakahan, sarana hidup itu tidak lagi sekedar mempermudah hidup tapi semua itu dirancang agar manusia selalu ketagihan dan merasa butuh. Dulu, pekerjaan seseorang dinilai dari cucuran keringat yang ia keluarkan. Tapi saat ini yang menjadi ukuran adalah sebanyak apa satuan-satuan benda yang ia hasilkan demi memuaskan selera menumpuk dan mengoleksi
Islam datang menyikapi sarana kehidupan itu dengan cara yang sangat proporsional. Dalam skala individu, selain sebagai sarana untuk memudahkan hidup ia juga berfungsi sebagai perhiasan dan Allah mewanti-wanti kita bahwa apa yang ada di sisiNya jauh lebih baik. Dalam skala jama’ah atau negara berfungsi sebagai distibutor kepada seluruh rakyat (khudz min amwalihim shadaqah) sehingga semua warga negara bisa mencicipi rezki dari Allah tersebut. Lebih dari itu, dalam skala negara pula, sarana hidup itu sebagai alat negara untuk menggertak dan menundukkan orang kafir (wa a’idduu lahum mas tatha’tum min quwwah). Sebab, pada asalnya mereka jika eksis dan berkuasa hanya akan membuat kerusakan di muka bumi.
Salafus Shalih adalah kumpulan manusia yang paling bijak dalm berinteraksi dengan sarana hidup. Sarana hidup, menurut mereka, tidak menambah izzah dan sama sekali tidak ada pengaruhnya pada kemenangan dan kekalahan tidak ada gunanya sama sekali tidak ada gunanya. Lihatlah Umar bin Khatthab menampik mentah-mentah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda gagah ketika beliau datang memenuhi undangan pembesar pendeta Nasrani di Paletina. Kereta ini digunakan oleh gubernurnya untuk menjemput beliau di batas kota yang datang dari Madinah dengan keledai ringkih. Beliau berkata kepada Abu Ubaidah, Gubernurnya, Nahnu qaumun a’azzanallahu bil Islam, lau ibtaghainal izzata siwal Islam la-azzallanallahu (kita adalah kaum yang yang dimuliakan Allah dengan Islam, andai kita mencari kemuliaan selain Islam pasti Allah menghinakan kita).
Bagaimana dengan Anda para du’at dan mujahid?. Anda adalah dua kelompok orang yang di pundaknyalah amanah penegakan dinullah ini dibebankan. Anda semua adalah shahibul himmah (pemilik cita-cita). Pada dasarnya Andalah yang harus paling merasa tidak butuh dengan semua dunia, jika itu tidak menambah keterhormatan Anda di sisi Allah. Anda harus selalu berada di ketinggian ufuk, karena dari sanalah Anda melihat dengan jelas tabiat kehidupan. Agar Anda selalu berada dalam kondisi sadar bahwa apa yang dikejar oleh semua manusia nilainya tidak lebih dari sehelai sayap nyamuk. Karena dengan kesadaran itulah anda selalu enjoy dalam hidup ini, betapapun kondisi Anda.
Ketika pintu dunia sudah terbuka lebar sehingga darinya mengalir harta benda yang melimpah ruah, Umar bin Khatthab bertanya kepada Abu Ubaidah ketika sang khalifah berkunjung ke rumahnya, rumah yang tidak memiliki satupun prabot, kecuali pedang, tameng, dan pelana kuda: ”Kenapa Anda tidak mengambil (harta benda)seperti yang dilakukan orang lain…?”. Maka Abu ubaidah menjawab: ”keadaan seperti inilah menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat…!”.
Bagaimana dengan Anda?.Sumber : wahdah.or.id
Wanita Penghuni Surga
Dari Atho’ bin Abi Rabah, dia berkata, Ibnu Abbas pernah bertanya kepadaku, “Maukah aku perlihatkan kepadamu salah seorang wanita penghuni Surga?” ‘ Tentu,” jawabku. Dia pun berkata, “Wanita berkulit hitam ini pernah datang kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, “Aku menderita penyakit ayan (epilepsi), dan (ketika kambuh) aku membuka (auratku). Jadi, berdoalah kepada Allah agar aku bisa sembuh.” Beliau lantas bersabda, “Jika engkau mau, engkau bisa bersabar dan engkau berhak mendapatkan Surga. Dan jika engkau mau, aku bisa berdoa kepada Allah agar Dia berkenan menyembuhkanmu.” Wanita itu menjawab, “Aku akan bersabar.” ‘ Tetapi, lanjutnya, (ketika kambuh) aku membuka (auratku). Jadi, berdoalah kepada Allah agar aku tidak membuka (auratku ketika kambuh).” Lalu beliau pun berdoa untuknya.”
(HR. Bukhari).
(HR. Bukhari).
Penjelasan Hadits:
Betapa tingginya kedudukan yang bisa dicapai oleh cobaan yang ada di dalam Hadits ini. Penyakit ayan (epilepsi) diderita oleh wanita muslimah ini, sementara di hadapannya ada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam yang sedang menawarkan kepadanya untuk berdoa memohonkan kesembuhannya atau menjanjikan Surga untuknya bilamana ia mau bersabar. Kemudian ia lebih suka memilih cobaan dari pada kesembuhan. Bukankah hal ini merupakan sebuah pelipur lara bagi setiap wanita yang menderita suatu penyakit, lalu dia mau bersabar, ridha, dan mengharap pahala dari Allah dengan harapan memperoleh balasan Surga?!
Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam mendoakan wanita itu agar tidak membuka auratnya ketika kambuh. Dan sebenarnya beliau tidak menolak untuk mendoakan kesembuhannya, sementara wanita itu pun tahu bahwa doa beliau pasti dikabulkan. Akan tetapi, dia lebih suka memilih bersabar terhadap penyakitnya dari pada sembuh dari penyakit itu. Setelah mengetahui hal ini bagaimana mungkin seorang wanita merasa tersiksa dengan suatu penyakit atau cobaan lainnya? Tahukah balasan apakah yang menantinya bilamana dia mau bersabar dan rela terhadap cobaan itu?
“Maukah aku perlihatkan kepadamu salah seorang wanita penghuni Surga?” Ungkapan yang keluar dari Abdullah bin Abbas ini mengisyaratkan tiga hal:
1. Keyakinan bahwa wanita ini adalah salah satu penghuni Surga, karena adanya berita gembira yang disampaikan oleh Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam kepadanya.
2. Penghormatan kepada wanita itu, dan kekaguman kepada pilihannya. Hal itu tampak jelas pada ajakan yang ditawarkan oleh Ibnu Abbas kepada Atho’ bin Abi Rabah, “Maukah aku perlihatkan kepadamu…”
3. Respon positif yang langsung diberikan oleh Atho’ dan persetujuannya untuk melihat wanita itu dengan mengatakan, “Tentu” mengisyaratkan pentingnya ajakan yang ditawarkan oleh Ibnu Abbas itu.
Kita tidak melewatkan keinginan kuat untuk menutup aurat yang terdapat di dalam permohonan yang diajukan oleh wanita itu kepada Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, agar beliau mendoakannya untuk tetap menutup auratnya. Sebab, dia selalu membuka auratnya ketika penyakit epilepsinya kambuh. Artinya, dia lebih memilih didoakan agar dia tetap menutup auratnya ketika penyakitnya kambuh daripada meminta didoakan untuk sembuh dari penyakit itu. Dan ini memberikan pelajaran berharga bagi wanita-wanita masa kini dan putri-putrinya yang suka membuka auratnya secara sadar. Mereka bahwa sangat berlebihan dalam membuka auratnya ketika berdandan. Mereka tidak takut sama sekali terhadap adzab dan siksa Allah.
Padahal Nabi pernah bersabda,
“Wanita-wanita itu tidak akan masuk Surga, dan bahkan tidak akan menemukan aroma Surga. Padahal aromanya bisa ditemukan dari jarak sekian dan sekian.” (HR. Muslim)
Bandingkan antara wanita-wanita yang tidak mau bersabar terhadap penyakit yang mereka derita dengan wanita yang mau bersabar terhadap penyakit epilepsi yang dideritanya. Akankah mereka tahan terhadap api Neraka Jahannam? Adakah harapan Surga bagi mereka?
Ada satu pelajaran yang tersisa di dalam isyarat yang ditunjukkan oleh Ibnu Abbas ke arah wanita agung ini dengan ucapan, “wanita berkulit hitam ini”. Hal ini mengingatkan kita pada Hadits Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam, yang berbunyi,
“Sesungguhnya Allah tidak memandang bentuk fisik dan harta benda kalian, tetapi Dia memandang hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim)
Dus, jangan terpesona oleh kecantikan wajah dan kemolekan tubuh seorang gadis, bilamana amal perbuatannya tidak shalih. Jangan pernah mengandalkan keindahan fisik seorang wanita, bilamana hatinya tidak ikhlas kepada Allah.
Wanita yang berkulit hitam ini adalah salah satu penghuni Surga. Yaitu Surga yang akan membuatnya berada dalam kondisi fisik yang paling indah. Sedangkan wanita cantik yang suka berbuat maksiat di dunia jika tidak diterima taubatnya oleh Allah, maka Neraka akan membuat wajahnya hangus dan hitam legam.
Itulah beberapa pelajaran berharga yang bisa kita petik dari Hadits Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam tersebut. Yaitu beberapa pelajaran yang bisa membuat wanita muslimah sabar dalam menghadapi setiap cobaan dan menerimanya dengan lapang dada, konsiaten dalam menutup aurat, membekali diri dengan keikhlas(an dan amal shalih, serta tidak mengandalkan kecantikan wajah dan kemolekan tubuhnya.
Disalin dari buku “Aku Tersanjung” (Kumpulan Hadits-hadits Pemberdayaan Wanita dari Kitab Shahih Bukhari & Muslim Berikut Penjelasannya), Karya Muhammad Rasyid al-Uwayyid/http://wimakassar.org/wp/2011/02/26/wanita-penghuni-surga/
Prinsip-Prinsip Dalam Mendalami Islam
Oleh: Ustadz Muhammad Ihsan Zainuddin, Lc
Berislam saja tidak cukup. Siapapun yang memiliki perhatian terhadap Islam di zaman ini tentu akan sedikit banyak cukup disejukkan hatinya dengan pemandangan yang menunjukkan semakin maraknya kaum muda yang kembali ke naungan cahaya hidayah Allah subhaanahu wa ta'ala.Betapa tidak, setelah sekian lama bahkan hingga kini pun maum muslimin tenggelam dalam kelalaian yang berkepanjangan terhadap misi dan kepribadian mereka yang sejati, baru kali inilah terjadi sebuah "Booming" kesadaran yang dapat di katakana merata hampir ke seluruh pelosok negri bahkan penjuru dunia. Hingga seperti kata sebagian orang banyak perguruan-perguruan tinggi terkemuka di berbagai tempat, berubah menjadi "pondok-pondok pesantren" yang sering kali lebih religius dan lebih terasa kekuatan dakwahnya dibanding sejumlah pondok pesantren yang memang didirikan dengan nama pondok pesantren.
Kitapun mencium aroma semangat berislam yang begitu semerbak dari para pemuda dan pemudi itu. Semangat yang membara ditambah perasaan yang tersimpan dalam jiwa-jiwa bersih mereka mengapa baru sekarang belajar Islam ? membuat mereka "berburu" Islam dari sumber manapun yang mereka anggap paling mengetahui Ad Dien ini. Hanya saja "perburuan" itu sering sekali salah jalan dan tersesat. Saringkali semangat mereka yang tulus itu berakhir pada kesesatan pemahaman atau setidak-tidaknya kesalah pahaman terhadap Islam. Ingat! Banyak diantara mereka yanga mengorbankan segala sesuatu yang paling berharga dalam hidupnya, entah itu karier, posisi, prestasi bahkan pada tingkat yang "ekstrim" banyak yang "kehilangan" orang tua kandung mereka sendiri karena kelompok kajiannya mengajarkan untuk melakukan hal itu yang mana hal tersebut hanya akan berakhir pada ujung lorong yang gelap dan tidak bercahaya.
Cara dan metode untuk memahami Islam itu sangat penting. Itulah sebabnya, salah satu prinsip terpenting dalam Islam adalah Al Ghayah la tubarrir al washilah (tujuan itu tidak menyebabkan kita menghalalkan segala cara). Begitu pula dalam memahami Islam, cara dan metode untuk sampai kesana tidaklah kemudian menyebabkan kita boleh mengambil Islam dari orang-orang yang sesat pemikirannya walaupun sebagian orang memanggilnya dengan sebutan "ustadz" atau koran dan majallah menyebutnya sebagai "cendikiawan muslim terkemuka"
Agar semangat yang tulus itu tidak menjadi korban yang sia-sia dalam pencariannya terhadap kebenaran, berikut beberapa prinsip yang penting dalam mendalami dan mempelajari Islam:
1. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat beliau adalah qudwah (panutan dan teladan) dalam berIslam.
Rasulullah adalah qudwah (panutan dan teladan) pertama kita dalam berislam, kemudian setelah itu para sahabat radhiallahu 'anhu, karena Allah telah men-tazkiyah mereka dan juga karena yang mendidik dan mentarbiyah mereka adalah Rasulullah sendiri hingga beliau wafat dalam keadaan ridha terhadap mereka. Oleh sebab itu, jika ingin berislam dengan benar dan selamat maka tanyakanlah kepada siapapun yang mengajarkan Islam "Apakah ajaran ini pernah dicontohkan oleh Rasullah dan para sahabat beliau?" Bila tidak, tentu anda sudah paham apa yang harus anda lakukan. Namun jika jawabannya "Ya" maka pastikanlah bahwa hal tersebut memang diriwayatkan secara shahih dari Rasulullah dan para sahabat beliau.
Ingatlah ! Bahwa Allah Ta'ala menyediakan ancaman barat bagi siapapun yang menyelisihi jalan ini, Allah berfirman,
"Dan barang siapa yang menentang/ mendurhakai Ar Rasul setelah jelas baginya petunjuk (yang benar), lalu mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang yang beriman, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam Jahanam dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An Nisa': 115)
Kesimpulannya, bagaimana cara berislam yang ditempuh Rasulullah dan para sahabatnya, maka begitu pula cara berislam yang harus kita tempuh. Bila Rasulullah sangat memperhatikan pamahaman nilai-nilai Tauhid, maka begitu pula seharusnya kita sekarang. Jika para sahabat tidak pernah meminta Rasulullah menakwilkan sifat-sifat Allah atau menakwilkan hal-hal ghaib, maka begitu pulalah semestinya kita saat ini. Dan selanjutnya, silahkan anda mencari sendiri contoh-contoh yang dapat di masukkan dalam perinsip ini.
2. Sumber pengambilan ajaran Islam yang benar adalah Al Qur'an dan As Sunnah sesuai dengan pemahaman As Salaf Ash Shalih.
Prinsip ini tentu sudah jelas, sebab Islam itu berasal dari Allah, maka sudah semestinya ajaran Islam yang benar itu terkandung dalam Al Qur'an. Adapun mengapa kita harus mengambil ajaran islam yang benar itu dari as Sunnah itupun sudah jelas, karena dalam Al Qur'an sendiri, Allah telah menegaskan kewajiban tersebut dan juga karena Rasulullah adalah manusia yang dipilih oleh Allah, tentulah beliau yang paling memahami semua kehendak Allah yang tertuang dalam Al'Qur'an. Jika bukan beliau yang memahaminya, lalu siapa lagi ?
Pada umumnya lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi Islam selalu meneriakkan slogan-slogan yang sama "Kembali kepada Al Qur'an dan As Sunnah" bahkan firqah-firqah dan jama'ah- jama'ah yang paling sesat sekali pun masih saja ada yang mengatakan berpegang pada Al Qur'an dan As Sunnah, lalu siapa yang menentukan "Versi Islam" yang sebenarnya. Untuk itu perlu direnungkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
"Sebaik-baik manusia adalah di generasiku (para shahabat), kemudian generasi setelah mereka (paran tabi'in) kemudian generasi setelah mereka (para taabi'ut tabi'in)." (HR. Bukhari dan Muslim)
Ketika Rasullah memuji ketiga generasi ini yang kemudian di kenal dengan Al Qurun Al Mufadhalah (generasi-generasi yang mendapatkan keutamaan), tentu maksud beliau bukan sekedar pujian lalu selesai, namun dalam pujian tersebut tersirat sebuah perintah bahwa jika kalian ingin memahami Islam secara benar lalu mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah diraih oleh ketiga generasi itu maka satu-satunya jalan adalah menyamakan pemahaman Islam kalian dengan pemahaman Islam ketiga generasi tersebut yang juga di kenal dengan "As Salaf Ash Shalih" (generasi pendahulu yang shalih).
3. Tidak ada mahluk yang ma'sum (aman dari dosa) selain Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
Prinsip ini berguna dalam menentukan sikap kita ketika mendapati seorang alim yang kita kagumi atau da'i yang kita hormati atau bahkan ustadz yang selalu mengisi kajian kita melakukan atau menyampaikan sesuatu yang bertentangan dengan Al Qur'an dan As Sunnah untuk tidak mengikutinya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam,
"Tidak ada keta'atan kepada makhluk untuk bermaksiat kepada Allah." (HR. Ahmad)
4. Tidak dibenarkan menerima sebuah pendapat atau hasil ijtihad kecuali setelah menimbangnya dengan Al Qur'an dan As Sunnah menurut pemahaman As Salaf Ash Shalih.
Zaman ini adalah zaman dimana pada setiap harinya bila kita sempat mengikutinya berkembang berbagai pemikiran dan pendapat. Menghadapi arus yang sangat kuat ini tentulah tidak mudah. Orang-orang yang sanggup memenangkan pergumulan ini hanyalah orang-orang yang memiliki pijakan yang kuat dalam menimbang setiap pemikiran yang lain atau dari satu "cara berislam" ke "cara berislam" yang lain, maka setiap pendapat atau pemikiran yang hinggap ke telinga dan otak. Kita harus timbang dengan timbangan Al Qur'an, As Sunnah dan pemikiran-pemikiran kaum salaf. Oleh karena itu prinsip ini secara tersirat mengajak seluruh kaum muslimin untuk lebih banyak "bergaul" dengan Kitabullah dan sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam serta kehidupan kaum salaf.
5. Tidak dibenarkan mempertentangkan Al Qur'an dan As Sunnah dengan akal rasio dan produk-produk akal lainnya.
Artinya, pada saat Al Qur'an dan As Sunnah telah menetapkan suatu perkara, maka pada saat itu seseorang muslim tidak lagi di benarkan untuk mencari ketentuan atau jalan keluar selain yang telah ditetapkan dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Dan inilah manhaj yang ditempuh oleh generasi As Salaf Ash Shaleh ketika mereka mengkaji dan mendalami Al Qur'an dan As Sunnah dan manhaj ini yang mereka wariskan kepada generasi-generasi sesudah mereka.
Syaikul Islam Ibnu Taimiyah pernah menuliskan, "Salah satu dasar (berpikir) yang telah di sepakati oleh para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik adalah bahwa tidak di benarkan seorang pun menentang Al Qur'an baik dengan pendapatnya, perasaannya, rasionya, analoginya atau wajd-nya (sebuah istilah kaum sufi yang sering merasa mereka menerima wahyu lewat mimpi atau yang lainnya), sebab Al Qur'an itu adalah imam yang harus diikuti. Oleh sebab itu, tidak pernah di temukan dalam ucapan seorang kaum salaf di mana ia menentang Al Qur'an baik dengan baik dengan akal, rasio ataupun analogi (qiyas) tidak pula dengan perasaan atau wajd-nya dan tidak seorang pun (dari mereka) yang mengatakan bahwa dalam masalah fulan terdapat pertentangan antara an Naql (dalil Al Qur'an dan As Sunnah) dengan akal. Apalagi sampai mengatakan bahwa dalam masalah fulan rasio harus dikedepankan atas An Naql." (Lihat Al Majmu' Fatawa 13:27-29)
Karena itu para ulama rabbani menyatakan bahwa antara akal yang sehat dengan wahyu Allah itu tidak mungkin bertentangan. Atau dengan kata lain, kita dapat mengatakan bahwa jika ada akal yang "merasa" bertentangan dengan wahyu Allah, maka ini berarti akal tersebut sedang tidak sehat alias sakit. Berkata Imam Ahlussunnah, Ahmad bin Hanbal, "Ya Allah! Matikan kami dalam Islam dan As Sunnah."(Al Fikrah/http://wahdahsalafi.multiply.com/journal/item/14)
Langganan:
Postingan (Atom)