Sabtu, 23 April 2011

Propaganda Pluralisme Agama dalam film “?"

Dengan mendudukkan persoalannya dalam kaca mata yang lebih jernih, kita akhirnya paham alasan banyak kalangan yang keberatan terhadap film “?” (Tanda Tanya) yang disutradarai Hanung Bramantyo (HB). Keberatan tersebut sangat beralasan. Muatan dan pesan film tersebut sangat vulgar: semua agama sama. Sebuah propaganda terbuka terhadap relatifitas-teologis kebenaran agama.
Prolog yang tajam dan cenderung mendoktrin, membuka tayangan film ini: “Manusia tidak hidup sendirian di dunia ini, tapi di jalan setapak masing-masing. Semua jalan setapak itu berbeda-beda, namun menuju ke arah yang sama. Mencari satu hal yang sama dengan satu tujuan yang sama, yaitu Tuhan.”
Benarkah manusia telah menapak “jalan-Nya”? Apakah semua itu benar “jalan-Nya”? Benarkah arah yang dituju adalah satu? Apakah pencarian itu terhadap hal yang sama?
Dapatkah Islam dengan sistemnya yang mencakup: keyakinan, individu, sosial, moral, ibadah, lingkungan, spiritual, akhirat, budaya, politik; diparalelkan dengan sistem agama yang lain meski keduanya sangat jauh berbeda?
Bukankah doktrin ketuhanan dan konsep ubudiyah setiap agama spesifik dan merupakan konsep yang tertutup? Benarkah penganut Islam, Kristen, Yahudi, Zoroaster, Buddha sama-sama hanya menyembah Tuhan Yang Satu?
Sejak awal, film ini terjebak dalam over simplifikasi persoalan teologis yang sungguh kompleks dan tak dapat diurai hanya dalam durasi sebuah film. Bagaimana dampak film ini bila ditonton oleh generasi muda kita yang masih lugu dan sangat awam dengan persoalan agama?
Dalam film tersebut digambarkan tokoh Rika yang kecewa terhadap suaminya yang muslim, murtad dari Islam ke Katolik. Uniknya, tanpa alur logika yang jelas, dia sesumbar: “Saya tidak mengkhinati Tuhan. Saya keluar dari agama bukan berarti membenci Tuhan.”
Film “?” selanjutnya mengeksplorasi protagonisme Rika secara berlebihan. Dia digambarkan sebagai orang yang secara “sadar” murtad, tapi baik hati dan toleran. Anaknya yang kecil -dan dia biarkan muslim- dia antar-jemput ke masjid belajar mengaji, dan dia temani berpuasa.
Ada pula tokoh Surya yang diusir dari kontrakan oleh pemiliknya yang bakhil. Ibu kontrakan itu sendiri, entah sengaja atau tidak, diperankan sebagai seorang wanita berjilbab. Surya sendiri berperan sebagai muslim yang rela berperan sebagai Yesus yang disalib pada perayaan Paskah. Awalnya, dia sempat diprotes jemaat gereja. Tapi pendeta gereja tampil sebagai pembelanya. Di bagian yang lain, dia juga menerima berperan sebagai Santa Claus.
Prosesi penyaliban Yesus dan personal Santa Claus, adalah murni konsep teologis inklusif umat Nasrani. Tapi kenapa dilihat dari kacamata sosial semata? Tak terusikkah keimanan Surya yang beriman kepada Isa ‘alaihis salam, tapi sebatas sebagai nabi dan rasul utusan Allah?
Boleh jadi film ini ingin menitipkan pesan toleransi. Tapi alur cerita dan muatan dialog di dalamnya sangat berlebihan. Agama dalam film ini ditampilkan dangkal. Seperti baju, dia dapat diganti sekehendak pemakainya. Penghayatan agama secara tak langsung diposisikan sebagai sumber konflik antar umat beragama. Penghayatan itu malah dijadikan simpul dilema psikologis dan sosial berbagai tokoh yang berperan di dalam cerita film. Dan seperti dapat diduga, komunitas mayoritas muslim yang menjadi bingkai utama konflik dan dilema tersebut.
*****
Sebagai muslim, dan dalam perspektif aqidah Islam, pesan film “?” sangat menyesatkan. Sebagai muslim, aqidah adalah identitas tertinggi dan termahal. Dia melebihi identitas keluarga, suku dan bangsa. Dia bahkan melebihi seluruh nilai dalam kehidupan dunia ini. Sebab, dengan identitas itulah seorang muslim berharap menutup hayatnya untuk dibawa ke kehidupan akhirat.
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (Terj. QS. 3: 102)
Sebagai muslim, kebenaran aqidah Islam merupakan nilai yang tak dapat ditawar. Allah yang Maha Pencipta, Dia pula satu-satunya yang berhak disembah.
“Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa, Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu mengetahui.” (Terj. QS. 2: 21-22)
Konsep tauhid dalam Islam, lantaran itu berbeda dan tidak toleran terhadap konsep ketuhanan dalam sistem keyakinan agama yang lain. Melakukan ibadah kepada selain Allah, dalam Islam, disebut perbuatan aniaya. Karena memposisikan makhluk, yang sebenarnya selevel dengan manusia, sama tinggi dengan Al-Khaliq, Allah Maha Pencipta.
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Terj. QS. 31: 13)
Sebagai bukti kasih sayangnya kepada umat manusia, Allah menurunkan syariat (dalam film ini disebut “jalan setapak”!) yang mengatur kehidupan manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Inilah yang oleh Syed Naquib Al-Attas, pemikir muslim kontemporer, disebut sebagai konsep tanzil, yang menegaskan agama sebagai risalah “langit” bagi umat manusia.
Dan karena Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah rasul terakhir, otomatis syariat yang disampaikannya menjadi syariat penutup.
Keyakinan dasar Islam yang inklusif ini tidak berarti Islam tidak toleran. Islam mengakui pluralitas-sosial. Lebih jauh, Islam justru mengajarkan kebajikan kepada sesama manusia.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Terj. QS. 60: 8-9)
Namun, sebagaimana ayat-ayat itu bertutur, kebajikan itu dalam tataran kehidupan sosial dan hubungan sesama manusia. Bukan dalam keyakinan teologis dan sistem dasar syariat.
Kesalahan fatal dalam film “?” adalah campur aduk antara dua dimensi kehidupan tersebut secara serampangan. Andai garis demarkasi antara kedua dimensi tersebut dapat didudukkan secara tepat, sikap keberatan terhadap film tersebut tak perlu ada.
*****
Seni yang berkualitas, termasuk seni peran, sejatinya mengusung misi pembebasan. Membebaskan manusia dari segala belenggu duniawi kepada kehidupan yang rohani yang lebih tinggi. Dengan membawa pesan damai yang jelas berpihak kepada kebenaran.
Sebaliknya, seni yang rendah adalah seni yang sekadar larut dalam nostalgia palsu yang tak nyata, yang hanya mampu bertutur tentang berbagai fatamorgana yang menipu.
“Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasanya mereka mengembara di tiap- tiap lembah. dan bahwasanya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang yang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.” (Terj. QS. 26: 224-227)
Al-Qur’an terjemah Depag RI yang memberi catatan terhadap ungkapan “mereka mengembara di tiap- tiap lembah” menulis: “yang dimaksud dengan ayat ini ialah bahwa sebagian penyair-penyair itu suka mempermainkan kata-kata dan tidak mempunyai tujuan yang baik yang tertentu dan tidak punya pendirian.”
Kepada insan seni akhirnya pilihan nurani itu kembali: menjadi seni yang membebaskan atau justru seni yang membelenggu.
Wallahu a’la wa a’lam. (Ilham Jaya/ www.tanaasuh.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar