WAJAH sang istri berseri, lalu ia dekati suaminya yang siap pergi.
"Mas, nanti pulangnya jangan malam-malam ya. Ummi siapkan makanan kesukaan, Mas."
"Benarkah?" dengan antusias sang suami merespon. Dan istrinya mengangguk, mengiyakan sambil tersenyum. Sunggingan senyum itu merupakan harapan untuk mengembalikan suasana awal pernikahan mereka dulu. Suami istri itu, terutama sang istri, menginginkan saat-¬saat sebelum anak-anak mereka lahir satu persatu.
"Kalau sudah selesai, langsung pulang. Saya tunggu di rumah. Kita makan bareng."
"Insya Allah."
Sang suami berangkat dengan dilepas sang istri. Lambaian tangan dan sepotong senyuman mengukir wajah-wajah mereka. Ketika hari merangkak petang, sang istri telah selesai menyiapkan hidangan. Ia tata dengan semenarik mungkin. Kini ia tinggal berdandan untuk menyambut suaminya pulang. Ternyata sampai larut, sang suami belum juga pulang. Dengan kekesalannya sang istri merebahkan tubuhnya di sofa. Namun, tak lama kemudian ia tertidur.
Ia terbangun ketika tangan suaminya menyentuh wajahnya. Permohonan maaf suaminya, ditanggapinya dengan acuh. Ia marah.
"Sudah makan, Dik?" tanya sang suami.
"Makan aja situ sendiri!"
Sang suami tahu istrinya marah. Namun, ia tetap bersikap, tenang. Ia menuju meja makan.
"Ayo makan bareng."
"Makan aja situ sendiri!"
"Mmh, lauknya mana nih?" tanya suami pura-pura tidak tahu.
"Cari aja situ sendiri!"
Sang suami pun makan. Tengah malam sang istri terbangun. la merasakan perutnya merintih sakit. Buru-¬buru ia menuju meja makan.
Mas, telurnya mana? Kok habis!"
"Nelur aja situ sendiri!" Mereka pun tidak jadi marahan. Mereka tertawa.
KISAH ITU diceritakan guru ngaji saya ketika masih kuliah. Sampai sekarang saya masih mengingatnya. Menurut beliau itu kisah nyata. Dari kisah tersebut saya mengambil satu ibrah. Bagaimana di tengah situasi yang semestinya ditanggapi dengan ketegangan kita mampu meredam diri, bahkan melempar joke-joke segar. Letupan-¬letupan emosional bukan sesuatu yang kita nihilkan dalam keluarga kita. Tentu itu. Pada saat-saat tertentu ghadhab atau marah bisa saja muncul, terlebih ketika emosi kita sangat labil. Strategi menahan diri dan tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menampilkan ketenangan adalah pilihan terbaik.
Jika pasangan kita tengah mengalami letupan emosi¬onal, bersikaplah wajar. Cobalah untuk memahaminya, dan jangan sekali-kali menyerangnya dalam situasi demi¬kian. Yakinlah bahwa cara demikian tidak cukup membantu. Saya terkenang dengan kisah keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Suatu ketika Aisyah pernah marah dengan Rasulullah dengan mengatakan, "Engkau ini hanya mengaku-aku saja sebagai nabi." Mendengar letupan emosi sang istri, suami yang lembut jiwanya itu hanya tersenyum tanpa balik membalas sama sekali.
Dalam situasi marah tidaklah tepat untuk melakukan blaming partner atau menyalahkan pasangan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri lebih memilih untuk diam. Kejadian demikian tidak hanya sekali. Ia berlangsung berkali-kali. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bertengkar dengan istrinya, Aisyah – putri Abu Bakar. Waktu itu Abu Bakar bertindak sebagai penengah atas perselisihan beliau.
"Bicaralah atau saya yang akan berbicara terlebih dahulu," kata Rasulullah.
Anda bicaralah dulu! Jangan mengucapkan yang tidak benar!" kata Aisyah dengan lantang. Mendengar kata-kata putrinya yang terlalu kasar pada suaminya, Rasulullah, Abu Bakar lalu menampar muka putrinya hingga mulutnya berdarah. Kemudian Abu Bakar berkata, "Aisyah! Engkau ini memusuhi dirimu sendiri. Apakali beliau pernah berkata yang tidak benar?"
Aisyah lalu berlindung di belakang Rasulullah.
"Kami tidak mengundangmu untuk melakukan ini. Kami tidak menghendaki tindakan seperti itu darimu," kata Rasul kepada sahabatnya, Abu Bakar.
SUBHANALLAH. Teramat indah untuk menelusuri kepribadian Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang suami. Sangat mempesona dan mengagumkan, tetapi begitu susah jiwa ini untuk meniru dan meneladaninya. Lihatlah bahwa letupan-letupan emosi dapat muncul dalam keluarga Rasul sekalipun. Karena, ia memang menjadi sesuatu yang natural bisa terjadi.
Persoalannya terletak pada bagaimana kita menghadapinya. Terus terang, saya masih belajar untuk meneladani kisah-kisah yang menginspirasi di atas. Kadang kala saya berhasil menciptakan suasana itu, tetapi beberapa yang lain, saya merasa belum berhasil. Bersikap tenang, tidak melakukan blaming partner, bahkan mendahului untuk meminta maaf, atau menyisipkau canda-canda segar di tengah kemarahan pasangan kita, sehingga ia luluh, bukanlah persoalan mudah. Namun, saya yakin, bukan berarti pula ia tidak mungkin dilakukan.
Bagi saya, belajar mendengar letupan emosi kekasih kita adalah pekerjaan besar para pejuang yang memiliki kebesaran jiwa. Wallahu A’lam
(Sumber:Disalin dari buku "Segenggam Rindu Untuk Istriku " Karya Dwi Budiyanto.
Allahumma sollii alaa Muhammad wa alaa aalihi wa ashhaabihii ajma'iin
BalasHapus