SEIRING dengan gerak teratur waktu, yakinlah kita akan menemukan potret sesungguhnya dari istri kita. Potret utuh tanpa sekat dan kepalsuan. Sekali lagi, seiring dengan bergeraknya jarum jam di dinding rumah kita, kita akan menguak seluruhnya tentang istri kita. Kita akan memiliki pengetahuan yang sebelumnya belum pernah kita ketahui.
Setelah saya menikah dengan istri saya beberapa waktu, saya menemukan potret yang tidak lagi monocrome lentang dirinya. Kita akan mengalami yang sama. Lalu, dengan pengetahuan itu, akan muncul dua opsi: kita semakin mencintainya atau kita akan kecewa dengannya.
Terlebih ketika pernikahan yang dilakukan sejak awal berparadigma tuntutan, bukan sebagai ruang tegur sapa keilmuan; tempat masing-masing kita berkesempatan belajar. Mendesain rumah tangga kita sebagai rumah para pembelajar.
Oleh teman-teman, saya dikenal sebagai anak manja. Di antara teman-teman, saya terhitung yang paling muda. Nah, kebetulan ketika saya menikah, istri saya jauh lebih 'manja.' Kebutuhan dia untuk bersama, diperhatikan, dan menciptakan suasana romantis jauh lebih dominan. Di situlah saya harus belajar. Belajar untuk menjadi lebih dewasa. Saya selalu berdoa untuk diberi kemudahan oleh Allah ta'ala untuk menggapainya.
Begitulah semestinya kita membangun keluarga. Rumah tangga yang dibangun di atas bingkai keluarga pembelajar. Para suami bukan konsumen yang menuntut pelayanan dengan menihilkan kekurangan istri. Masing-¬masing memiliki kelebihan. Kata Nabi Shallallahu alaihi wassallam: wafii kulli khair (tiap kita memiliki potensi, kelebihan, kebaikan). Tapi sebagaimana tabiat alam, tak ada yang sempurna pada diri makhluk. Masing-masing kita juga memendam kelemahan.
Kiranya peran Rasulullah shallallahu alaihi wassallam berikut patut untuk dijadikan renungan: "Janganlah seorang mukmin memarahi seorang mukminah! Apabik tidak suka terhadap salah satu perangainya, maka masih ada perangai lain yang menyenangkan." (HR. Muslim), Ada sisi lain dari kepribadiannya yang sebenarnya sangat mempesona. Persoalannya, bagaimana kita menemukannya? Menempatkan istri kita dalam posisi istimewa, Ia sangat berarti dalam hidup kita. Sesungguhnya istri kita memiliki rekening peran yang luar biasa besar bagi keluarga. Sayangnya, kita jarang jeli menangkap setial, peran yang dilakukan. Kenapa? Para suami menganggap, bahwa apa yang dilakukan para istri merupakan kewajaran. Begitulah yang seharusnya dikerjakan oleh istri, pikir kita. Kita melihat pekerjaan istri tidak terlalu menarik. Kehadiran seorang istri terasa tidak bermakna. Sungguh, pada Allah ta'ala saya berlindung atas semua sikap itu.
Akhirnya, makna kehadiran akan lahir dalam kepergian. Ketika kekasih kita tidak ada, barulah kita membutuhkan kehadirannya. Rumah terasa sunyi, sejumlah kerepotan akhirnya kita rasakan, dan tidak ada tempat berbagi serta bercerita. Padahal sebelumnya, ketika ia hadir kita tidak cukup memperhatikannya.
Ketika istri saya harus opname di rumah sakit, saya berkesempatan pulang sejenak. Begitu membuka pintu rumah kontrakan, saya merasakan ada yang hilang. Sepi. Posisi barang-barang, buku-buku, dan tata letak ruangan, mengingatkan saya pada kehadirannya. Sisi melankolis saya menyeruak hadir. Saya pejamkan mata. Tapi pelupuk mata saya tidak kuasa menahan air mata. Saya menyadari bahwa saya butuh dia: istriku yang tercantik di hatiku.
Lihatlah bagaimana Rasulullah shallallahu alaihi ' wassallam tidak dapat melupakan Khadijah binti Khuwailid, meskipun beliau telah lama meninggal. Goresan kenangan itu terus ada. Bahkan, kenangan itu terasa membekas dan susah untuk dihapuskan. Sampai-¬sampai Aisyah bertutur dengan jujur bagaimana ia cemburu terhadap Khadijah. Kecemburuan pada orang yang tidak lagi hadir. Tapi begitulah cinta. Ia tidak ingin dibagi. "Allah sekali-kali tidak menjadikan bagiseseorangdua bitch hati dalam satu rongga." (QS. Al-Ahzab: 4). Wallahu a’lam.
Saya tidak pernah merasa cemburu pada istri-istri Nabi shallallahu alaihi wassallam," kata Aisyah. Ia lain melanjutkan, "Kecuali, terhadap Khadijah. Padahal, saya tidak pernah berjumpa dengannya. Tapi karena Nabi shallallahu alaihi wassallam sering menyebutnya dan sering menyembelih kambing, lalu dipotong beberapa bagian dan dikirimkan pada kenalan-kenalan baik Khadijah itulah sebabnya."
"Saya sering berkata kepadanya: "Seakan-akan di dunia ini tidak ada wanita selain Khadijah!" Maka, beliau akan menjawab: "Sesungguhnya Khadijah itu begini dan begitu, dan hanya dengan dialah aku dikaruniai anak." (HR. Bukhari dan Muslim).
Suatu ketika Halah binti Khuwailid, saudari Khadijah, pernah minta izin untuk masuk rumah Rasulullah shallallahu alaihi wassallam. Rasulullah kaget . Ia terhenyak sejenak. Ingatan beliau langsung tertuju pada Khadijah; suaranya, raut wajahnya, dan segala gerak geriknya. Maka, ketika kesadaran beliau hadir, dalam keterharuan beliau berkata, "Ya Allah, Halah binti Khuwailid. Kukira Khadijah."
Seiring dengan gerak teratur waktu, saya ingin selalu menempatkan istri sebagai wanita tercantik di hati saya. Kisah Rasulullah bersama Khadijah terlalu menarik untuk dibaca, dan menjadi hampa jika kita tidak belajar mewujudkannya. Mencintai dengan sepenuh hati. Allahu a'lam.(Disalin dari buku "Segenggam Rindu Untuk Istriku")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar