Pada awalnya sarana kehidupan dicipta untuk memudahkan kehidupan manusia di muka bumi ini.
Akan tetapi seiring perjalanan waktu terjadi pergeseran yang sangat berarti. Karena keserakahan, sarana hidup itu tidak lagi sekedar mempermudah hidup tapi semua itu dirancang agar manusia selalu ketagihan dan merasa butuh. Dulu, pekerjaan seseorang dinilai dari cucuran keringat yang ia keluarkan. Tapi saat ini yang menjadi ukuran adalah sebanyak apa satuan-satuan benda yang ia hasilkan demi memuaskan selera menumpuk dan mengoleksi
Islam datang menyikapi sarana kehidupan itu dengan cara yang sangat proporsional. Dalam skala individu, selain sebagai sarana untuk memudahkan hidup ia juga berfungsi sebagai perhiasan dan Allah mewanti-wanti kita bahwa apa yang ada di sisiNya jauh lebih baik. Dalam skala jama’ah atau negara berfungsi sebagai distibutor kepada seluruh rakyat (khudz min amwalihim shadaqah) sehingga semua warga negara bisa mencicipi rezki dari Allah tersebut. Lebih dari itu, dalam skala negara pula, sarana hidup itu sebagai alat negara untuk menggertak dan menundukkan orang kafir (wa a’idduu lahum mas tatha’tum min quwwah). Sebab, pada asalnya mereka jika eksis dan berkuasa hanya akan membuat kerusakan di muka bumi.
Salafus Shalih adalah kumpulan manusia yang paling bijak dalm berinteraksi dengan sarana hidup. Sarana hidup, menurut mereka, tidak menambah izzah dan sama sekali tidak ada pengaruhnya pada kemenangan dan kekalahan tidak ada gunanya sama sekali tidak ada gunanya. Lihatlah Umar bin Khatthab menampik mentah-mentah kereta kencana yang ditarik oleh enam ekor kuda gagah ketika beliau datang memenuhi undangan pembesar pendeta Nasrani di Paletina. Kereta ini digunakan oleh gubernurnya untuk menjemput beliau di batas kota yang datang dari Madinah dengan keledai ringkih. Beliau berkata kepada Abu Ubaidah, Gubernurnya, Nahnu qaumun a’azzanallahu bil Islam, lau ibtaghainal izzata siwal Islam la-azzallanallahu (kita adalah kaum yang yang dimuliakan Allah dengan Islam, andai kita mencari kemuliaan selain Islam pasti Allah menghinakan kita).
Bagaimana dengan Anda para du’at dan mujahid?. Anda adalah dua kelompok orang yang di pundaknyalah amanah penegakan dinullah ini dibebankan. Anda semua adalah shahibul himmah (pemilik cita-cita). Pada dasarnya Andalah yang harus paling merasa tidak butuh dengan semua dunia, jika itu tidak menambah keterhormatan Anda di sisi Allah. Anda harus selalu berada di ketinggian ufuk, karena dari sanalah Anda melihat dengan jelas tabiat kehidupan. Agar Anda selalu berada dalam kondisi sadar bahwa apa yang dikejar oleh semua manusia nilainya tidak lebih dari sehelai sayap nyamuk. Karena dengan kesadaran itulah anda selalu enjoy dalam hidup ini, betapapun kondisi Anda.
Ketika pintu dunia sudah terbuka lebar sehingga darinya mengalir harta benda yang melimpah ruah, Umar bin Khatthab bertanya kepada Abu Ubaidah ketika sang khalifah berkunjung ke rumahnya, rumah yang tidak memiliki satupun prabot, kecuali pedang, tameng, dan pelana kuda: ”Kenapa Anda tidak mengambil (harta benda)seperti yang dilakukan orang lain…?”. Maka Abu ubaidah menjawab: ”keadaan seperti inilah menyebabkan hatiku lega dan sempat beristirahat…!”.
Bagaimana dengan Anda?.Sumber : wahdah.or.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar