Minggu, 24 April 2011

Hidup Tanpa Beban

Mustahil ada yang tak ingin bahagia di dunia ini. Karena demikianlah adanya. Seluruh aktifitas manusia itu, dalam corak apapun, intinya adalah mengais kebahagiaan hidup. Kendati kebahagiaan itu sifatnya relatif. Namun satu hal yang tak seorang pun pungkir...i, bahwa ia letaknya dalam hati. Ketenangan, kedamaian, kelapangan jiwa, atau minimal apa yang diistilahkan orang, “hidup tanpa beban”. Ah, aku selalu mengkhayalkan indahnya hidup tanpa beban itu. Tapi, emang ada ya, orang yang hidup di kolong langit ini tanpa beban? Kalau dipikir-pikir, rasanya tidak ada. Yang ada adalah, seorang yang hidup dan bisa menikmati beban hidup itu. 
Kayaknya, kisah Ali bin al-Makmun al-Abbasi, seorang penguasa anak Khalifah al-Makmun dapat memberi inspirasi bagi kita. Beliau seorang pangeran yang hidup dalam glamour istana dan hamparan kenikmatan. Semua yang diinginkan sekejap terwujud. Memandangnya sekilas, mungkin orang-orang merasa iri dan berandai bisa menjadi dirinya.   Namun tak ada yang mengetahui isi hati, melainkan Allah…Suatu hari, ia melongok ke arah luar balkon istana. Tepatnya di keramaian pasar. Ia tertegun memperhatikan seorang pekerja kasar yang begitu ulet memeras keringat sepanjang hari. Menjelang siang, orang itu berwudhu di tepi sungai Tigris, shalat dua rakaat, kemudian beranjak menuju masjid. Saat menjelang magrib, orang itu pun bergegas pulang ke rumahnya. Dan itu setiap hari ia lakukan.   Lantaran penasaran, suatu ketika sang pangeran memanggilnya dan bertanya tentang kondisi sebenarnya. Orang itu menjawab, bahwa ia memilki seorang istri, dua saudari perempuan buta dan seorang ibu tua renta. Ia menambahkan, bahwa dirinya tidak memiliki sesuap makanan atau penghasilan melainkan dari apa yang ia dapatkan dari kerja kasar di pasar. Uniknya, orang itu dan seluruh anggota keluarganya, setiap hari berpuasa, dan berbuka kala magrib menjelang dengan apa yang diperoleh hari itu.        Sang pangeran bertanya, “Apakah engkau pernah mengeluhkan apa yang engkau alami ini?, sungguh, aku menyaksikan kehidupanmu begitu miris”. “Tidak, Alhamdulillah, sebab Allah-lah yang selalu mencukupi kami”, jawabnya enteng. “Ketahuilah, aku adalah anak Khalifah. Maukah anda tinggal bersamaku di dalam istana, makan dan minum sepuasanya, tak ada kesusahan, gundah gulana dan kesedihan…?!, pancing sang pangeran. Laki-laki itu tersenyum, “Wahai anak khalifah, tak ada kesusahan bagi yang tidak berbuat dosa, tak ada gundah bagi orang yang tidak bermaksiat, dan tak ada kesedihan bagi yang tidak berlaku salah…hanya saja, orang yang berpagi-pagi dalam maksiat dan dosa, merekalah pewaris kesusahan, sedih dan gundah…!”. Ali bin Makmun terhenyak takjub. Lisannya tak kuasa mengeja satu kalimat pun. Seakan tiap bait kata-kata orang itu berlomba menampar wajahnya. Hatinya berdesir. Lalu tanpa berkata-kata, ia segera balik ke istana dengan air muka yang lain.   Maka saat itu juga pangeran Ali meninggalkan istana, jabatan, dan segala glamour dunia, pergi menuruti langkah kakinya. Tak ada yang mengetahui di mana ia berada, bahkan oleh sang Khalifah al-Makmun, ayahnya sekalipun. Hingga ia ditemukan beberapa tahun setelah itu, di negeri yang jauh. Ia mati sebagai seorang tukang kayu di daerah Khurasan. Anehnya, ia ternyata menemukan kebahagiaan itu dalam pekerjaannya sebagai tukang kayu, dan tidak saat ia makan, minum dan tidur dalam istana megahnya.
Oh ya, aku juga ingin berbagi pengalaman dalam hal ini. Kejadiaannya di Jakarta sekitar tahun 2008, sebulan sebelum kami pindah ke kota Makassar. Saat itu, aku kedatangan seorang pasien, wanita paruh baya. Dari penampilannya, nampak bahwa ia seorang wanita berada. Dan terkaanku ternyata tak meleset. Kawan ibu itu berbisik padaku, bahwa dia dan suaminya punya jabatan lumayan tinggi di kantor Bea Cukai. Katanya lagi, rumahnya di daerah (…) seperti istana. Megah dan mewah.   Ibu paruh baya itu lalu menumpahkan segala keluh kesah yang dialami beberapa tahun terakhir. Beban pikiran luar biasa, rasa takut dan khawatir berlebihan, selera makan yang hampir pupus, serta kenikmatan tidur yang nyaris sirna. Tambahnya lagi, bahwa akhir-akhir ini ia sangat terbebani oleh kondisi putrinya yang hingga berumur kepala tiga, belum juga dapat jodoh…!! Efeknya, semua itu berpengaruh pada lambung dan detak jantungnya, “pak, jangan-jangan aku terserang penyakit jantung ya…?!, imbuhnya.   Nah, kebetulan di depan rumah sedang ada perbaikan jalan. Aku keluar sebentar lalu mengajak ibu itu mengintip sejenak. “Coba ibu perhatikan tukang yang sementara terlelap di bawah pohon itu…!, lihatlah bu, begitu tenang, hingga dalam kondisi demikian masih sempat juga terlelap tidur...!. Perhatikan pula kawanan tukang-tukang lainnya yang sedang menyantap nasi bungkus yang mungkin saja lauknya hanya sepotong tempe goreng…!, begitu lahap. Subhanallah, mereka pun masih sempat berebut canda dan tawa”. Alhamdulillah, ibu itu pun paham apa yang aku maksud. Setelah menjelaskan hakikat keluhannya itu, senyumnya mulai terkulum. Dan dalam beberapa pertemuan saja ia mengaku, kesehatannya mengalami kemajuan luar biasa…   Intinya, bahwa mereka itu hidup apa adanya. Orientasi mereka pun tak lebih dari apa yang bakal diperoleh hari itu untuk kemudian dinikmati bersama anak dan istrinya. Selanjutnya mereka pasrahkan, sembari tetap berusaha mencari. Aku tidak mengatakan mereka tidak punya beban hidup. Sama sekali tidak. Bahkan boleh jadi “beban” hidup mereka jauh lebih berat ketimbang kita. Akan tetapi, beban hidup itu tidak menguasai diri mereka hingga merampas kebahagiaan hakiki dalam jiwa.   Hmm, rasanya kita patut berkaca pada mereka. Betapa Allah telah memberi kita begitu banyak nikmat. Harta, anak-anak, badan sehat, rumah yang nyaman dan sebagainya. Anehnya, mengapa jiwa kita belum juga merasakan kebahagiaan itu…?! Ah, boleh jadi lantaran kita masih beranggap bahwa bahagia itu ada pada limpahan harta benda. Atau barangkali, angan-angan kita terhadap dunia ini masih terlalu panjang menjuntai. Padahal, hakekat kebahagiaan terletak pada iman, yakin akan takdir serta menjalani hidup ini apa adanya…yah, apa adanya. 
   Makassar, 25 April 2011
Oleh: Rappung Samuddin/http://www.facebook.com/notes/rappung-samuddin/hidup-tanpa-beban/10150176461828501

Tidak ada komentar:

Posting Komentar