Akankah kita merelakan diri berjalan di luar bingkai takwa, hanya karena ingin mencecap dunia yang tidak membantu kita dalam taat kepada-Nya?
Padahal, itupun hanya
sebentar saja.
(Ust Triasmoro Kurniawan)
Padahal, itupun hanya
sebentar saja.
(Ust Triasmoro Kurniawan)
Sesungguhnya, prinsip dasar dari terhubungnya hati hamba dengan selain Allah, adalah membahayakan. Apalagi jika sampai kepada ketergantungan. Tapi kita makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendirian, mencukupi semuanya tanpa bantuan orang lain, sekalipun kita memiliki Rabb yang Maha Mencukupi. Kecuali Dia berkehendak lain. Dan karenanya, mau tidak mau, kita akan tetap terhubung juga dengan selain Allah.
Bingkainya bernama ketakwaan. Hingga, hubungan hamba dengan selain Allah pun harus beredar di orbit ini. Sebuah standar abadi yang tak lekang waktu tentang kemuliaan dan nilai sebuah pencapaian yang hakiki. Bukan hubungan atas nama kepentingan sesaat, yang menjerat dan menyesat di jalan gelap. Yang lahir dari kebodohan dan alasan palsu, tanpa pijakan akal sehat, selain hawa nafsu yang dipertuhankan. Juga sintesa pikiran para penghamba benda dan dunia, yang tidak mampu menjangkau rahasia di balik materi.
Hubungan itu, jika ingin menyelamatkan, harus berdiri di atas dua syarat utamanya; sesuai kebutuhan dan sarana bantu untuk mentaati Allah. Yang jika keduanya tidak terpenuhi, pintu bahaya sudah terbuka di depan mata, meski kebanyakan kita tidak menyadarinya.
Di sanalah syariat berdiri. Dengan rambu-rambu seterang benderang siang, memagari batas halal dan haram, yang boleh dan yang terlarang. Lengkap dengan dosis ideal dan aturan main yang menjelaskan kadar cukup atas eksplorasi kenikmatan halal yang tidak melalaikan makna perjalanan pulang ke haribaan-Nya. Paduan serasi antara menikmati dunia dan menyiapkan bekal akhirat.
Maka, terhubung dengan selain Allah berpotensi memudarkan standar kebaikan, merusakkan iradah akan ketakwaan, membelokkan arah perjalanan, serta membingungkan pemahaman arti kehidupan. Padahal, seharusnya ia adalah alat bantu meluaskan area kebaikan. Bukan malah sebaliknya; melalaikan dan membuat sibuk.
Dari sini, perubahan fase demi fase dalam kehidupan seorang hamba, haruslah paralel dengan takwa. Setiap pilihan perubahan fase itu, apapun risiko yang nanti mengiringinya, hendaknya memastikan substansi takwa yang terjamin penjagaan dan pertumbuhannya. Sebuah keniscayaan atas pilihan sadar dan bertanggung jawab, yang jauh dari alpa dan ikut-ikutan arus.
Jika tidak, maka pencapaian materi akan mensubstitusi nilai. Menjanjikan gebyar pesona syahwat yang memang mudah dicecap. Meliarkan keinginan yang memang tidak akan pernah terpuaskan, juga kenikmatan bertubi-tubi menelusuri seluruh pori-pori. Hingga menumpulkan akal dan nurani.Akhirnya, dalam lelah tak terperi, dan sesal yang mengiringi, manusia menghiba. Tapi waktu tak mungkin lagi kembali. Ia pergi membawa pengikutnya yang merugi.
Akankah kita merelakan diri berjalan di luar bingkai takwa, hanya karena ingin mencecap dunia yang tidak membantu kita dalam taat kepada-Nya? Padahal, itupun hanya sebentar saja.(Trias/http://www.arrisalah.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar