Dari Khansa’ binti Khidam Al-Anshariyah diceritakan bahwa ayahnya pernah menikahkannya sewaktu dirinya menjanda, namun ia tidak menyukai hal itu. Kemudian ia mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menolak pernikahannya.”
(HR. Bukhari)
(HR. Bukhari)
Penjelasan Hadits:
Imam Bukhari mendokumentasikan Hadits ini dengan judul Bab “Jika Seseorang Menikahkan Putrinya, Namun Ia Tidak Menyukainya, maka Pernikahannya Ditolak.” Dan di dalam komentarnya, Ibnu Hajar rahimahumullah, mengatakan, “Demikianlah beliau menyatakan hal itu secara mutlak (tidak terbatas), sehingga mencakup anak gadis maupun janda.” Kemudian dia menambahkan, “Pernikahan ditolak-apabila pengantin wanita seorang janda yang dinikahkan tanpa persetujuannya-menurut Ijma’ (kesepakatan). Artinya tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ahli fiqih (fugaha’).
Di dalam riwayat lain dari jalur Abu Bakar bin Muhammad diceritakan, “Bahwasanya ada seorang pria dari kalangan Anshar menikahi Khansa’ binti Khidam. Lalu pria itu gugur di dalam Perang Uhud. Kemudian ayahnya menikahkannya dengan pria lain. Lalu ia mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan mengatakan, Ayahku telah menikahkan aku. Sebenarnya paman anakku lebih aku sukai.” Riwayat ini menunjukkan bahwa ia memiliki anak dari suaminya yang pertama.
Pada riwayat yang kedua ini kita melihat bahwa Khansa’ tidak saja menolak pria pilihan ayahnya, namun ia bahkan menyatakan secara ekplisit siapa yang ia inginkan untuk menjadi suaminya dan menurutnya lebih baik untuk dirinya dan anaknya, yaitu adik mantan suaminya. la menyatakan, “Sebenarnya paman anakku lebih aku sukai.” Dengan statemen yang sangat tegas ini ia tidak ingin menyembunyikan perasaannya. Ia lebih memilih untuk mengungkapkan isi hatinya secara terang-terangan bahwa ia lebih cenderung kepada adik mantan suaminya.
Dengan aksi tersebut Khansa’ binti Khidam telah membantu wanita-wanita lainnya yang tidak suka dengan pilihan orang tuanya untuk mendeklarasikan penolakannya secara terbuka. Yakni menolak pria pilihan orang tuanya. Seperti yang diceritakan oleh Yahya bin Said dari Al-Qasim, “Bahwasanya ada seorang wanita dari (kaum) Ja’far yang merasa takut akan dinikahkan oleh walinya dengan pria yang tidak disukainya. Kemudian ia mengirim surat kepada dua orang Syaikh dari kalangan Anshar, yakni Abdurrahman bin Jariyah dan Majma’ bin Jariyah. Kedua Syaikh itu lantas mengatakan kepadanya, “Kamu tidak usah takut, karena Khansa’ binti Khidam pernah dinikahkan oleh ayahnya dengan pria yang tidak disukainya, lalu Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam menolak (pernikahan) itu.
Demikianlah, kedua Syaikh dari kalangan Anshar itu menenangkan hati wanita tersebut, dan secara spontan memberikan landasan hukumnya. Yaitu penolakan Khansa’ terhadap sikap ayahnya yang menikahkannya dengan pria yang tidak disukainya, dan penolakan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam atas pernikahan tersebut karena tidak adanya persetujuan dari pihak wanita.
Ibnu Hajar Rahimahumullah memberikan informasi yang rinci tentang Hadits tersebut di atas dengan menyatakan bahwa wanita dari klan Ja’far tersebut ialah Ummu Ja’far binti Al-Qasim bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far bin Abi Thalib. Sedangkan walinya ialah paman ayahnya, Mu’awiyah bin Abdullah bin Ja’far. la menjadi janda dari suaminya yang bernama Hamzah bin Abdullah bin Zubair. Kemudian ia mengirim surat kepada Al-Qasim bin Muhammad dan Abdurrahman bin Yazid. Dalam suratnya, ia menyatakan, “Saya benar-benar merasa tidak aman bahwa Mu’awiyah akan meletakkan diriku di tangan laki-laki yang tidak aku setujui.” Lalu Abdurrahman mengatakan kepadanya, “Dia tidak berhak melakukan itu. Dan andaikata dia melakukannya, maka hal itu tidak dibenarkan.”
Wanita manakah yang lebih anda kagumi? Apakah Khansa’ yang mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam seraya berharap mendapatkan hak untuk menolak pilihan ayahnya dan hak untuk memilih sendiri orang yang akan menjadi suaminya? Ataukah Ummu Ja’far yang mengirim surat kepada dua orang Syaikh dari kalangan Anshar untuk mengungkapkan ketakutannya dan rasa tidak amannya bahwa walinya akan menikahkannya dengan orang yang tidak disetujuinya?
Mereka adalah wanita-wanita muslimah yang mengetahui bahwa Islam tidak akan merampas hak tersebut. Mereka memahami bahwa Islam memperhatikan kepentingan mereka dan menjaga perasaan mereka. Dan mereka juga menyadari bahwa Islam tidak akan memaksa mereka untuk menikah dengan orang yang tidak mereka kehendaki.
Dus, para orang tua dan para wali hendaknya tidak mencampuradukkan antara tradisi dan kebiasaan yang salah dengan syari’at agama yang toleran dan adil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar