"I have a very good life with Koko. Dia adalah
suami yang baik, guru yang baik, teman yang
baik. Dari sebelumnya saya yang apolitik
sampai mengerti politik, lingkungan hidup,
dan humanisme."
UNGKAPAN tulus itu merupakan perkataan Ratmini Soedjatmoko, janda Dr Soedjatmoko (1922-1989) (Kompas, 22/11/2005), mengenai almarhum suaminya. Sang suami tercinta meninggal pada 21 Desember 1989, saat sedang menyampaikan orasi ilmiah tentang masalah pendidikan dan masyarakat madani di Yogyakarta.
Setelah membaca ungkapan di atas, saya teringat kata-kata Umar bin Khathab. "Hanya ada dua perasaan yang mungkin dirasakan oleh setiap orang pada saat pasangan hidupnya wafat. Merasa bebas dari beban hidup atau merasa kehilangan tempat bergantung." Ketika istri kita mencintai kita maka mereka akan menempatkan kita di dalam istana hatinya. Keberadaan kita menjadi tambatan jiwanya, pohon rindang tempatnya berteduh dari terik kehidupan yang gerah, atau air telaga yang menyejukkan. Namun, bagaimana kita dapat dicintai istri kita? Dirindukannya saat tempat menjauhkan kita dengannya. Dikenangnya saat kematian kita menjemput.
Agar ada cinta maka berilah cinta. Inilah rumus umumnya. Sekali lagi, jika kita ingin abadi dalam bilik kerinduan jiwanya, mencintai adalah pekerjaan yang harus dilakukan untuknya. Cinta dengan penuh ketulu¬san. Cinta yang mampu menciptakan kesan mendalam. Cinta yang menganugerahkan banyak hal. Bukannya cinta yang dipenuhi tuntutan pada kekasih kita, istri kita. Jika bahasa menuntut yang menghiasi hari-hari bersama dalam keluarga lebih dominan, tentu akan ada yang tertekan. Tuntutan membuat mereka terbelenggu. Padahal, cinta justru menganugerahkan sesuatu untuk meningkatkan kapasitas kekasih kita.
Lihatlah apa yang diungkapkan Ratmini Soedjatmoko: Dia adalah suami yang baik, guru yang baik, teman yang baik. Dari sebelumnya saya yang apolitik sampai mengerti politik, lingkungan hidup, dan humanisme. Para suami memiliki pekerjaan untuk memberi atau menganugerahkan. Dampak yang muncul adalah kesan mendalam. Istri akan menempatkan suami tidak sekedar sebagai suami yang baik, tetapi mungkin predikat lain, sesuai dengan apa yang diberikannya. Kita, para suami, akan memiliki tempat yang lebih bermakna di hati istri kita masing masing.
Maka dalam catatan sejarah, bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam Aisyah tumbuh tidak sekedar sebagai seorang istri, tetapi sekaligus menjadi telaga ilmu, tempat semua orang merujuk gagasannya. Potensinya tertumbuhkan oleh keberadaan sang suami, Rasulullah.
Ironinya, ada banyak wanita-wanita cerdas tapi begitu mereka menikah, ruang geraknya menjadi sempit. Peluangnya untuk menjadi yang lain kandas, dan mereka terpuruk sekedar memperoleh predikat sebagai seorang istri. Potensinya tidak dikembangkan, sebab suaminya hanya menempatkan dirinya (sekedar) sebagai suami.
Ada pula yang lain, para suami sekedar menjadi suami dan tidak menjadi pecinta yang memiliki kesan kuat di hati istri mereka. Kembali perlu kita kenang pribadi pejuang yang sangat memahami keberadaan istri sebagai sumber energi perjuangannya. Bung Tomo. Beliau sangat menyadari bahwa cinta sang istri adalah tenaga yang menggerakkan semangatnya. Maka sang istri, Sulistina Soetomo, membaca gerak cinta suaminya. Dan, ia membalas cinta itu dengan cinta: mereka saling memberi. Oleh karena itu, ketika pengobar arek-arek Suroboyo itu meninggal, Sulistina sangat kehilangan. Langit jiwanya berduka. Dalam surat panjangnya ia ungkapkan kesan mendalamnya kepada Bung Tomo.
Mas Tom, ada satu yang ingin kukatakan dalam surat panjang ini. Dalam kehidupan rumah tangga kita, aku rasakan kebahagiaan suami istri. Aku bangga menjadi istrimu. Aku bangga menjadi pendampingmu. Engkau selalu tnembahagiakan aku, bagaimana pun sulit kehidupan kita. Tak pernah engkau risaukan.
Mottomu: put your wife on a pedestal benar-benar Mas Tom lakukan. Mas Tom engkau benar-benar seorang suami yang patut menjadi teladan. Ketika kau tiada, aku membuka dompetmu. Aku menangis ketika menatap fotoku di dompet itu. Aku tak pernah menggeledah dompetmu sebelumnya. Di bawah fotoku yang tersenyum itu ada tulisan: iki bojoku (ini istriku). Sedang pada foto lain kau tuliskan: Tien istri Tomo.
Orang mengatakan bahwa Bung Karno adalah seorang yang romantis di samping sebagai pemimpin. Dan, aku berani mengatakan Mas Tom adalah suami yang amat romantis. Mas Tom adalah seorang pahlawan sekaligus, seorang pecinta besar: you are a hero, a patriot, a great lover, sampai hari akhirmu.
Maka, disebabkan oleh cinta kehidupan keluarga kita akan jauh lebih bermakna. Cinta yang terus bergerak: dari memberi perhatian menuju proyek pengembangan diri kekasih kita. Wallahu Aam bish-showab. Sebait sajak dari lqbal menarik untuk kita jadikan bahan renungan.
Oleh cinta, sang pribadi kian abadi.
Lebih hidup, lebih menyala, lebih berkilau.
(Sir. Muhammad Iqbal).
(Disalin dari buku "Segenggam Rindu Untuk Istriku").
Tidak ada komentar:
Posting Komentar